Gagasan ilmiah dan filosofis Renaisans dalam pandangan dunia Shakespeare. Shakespeare dan Ide Renaissance Shakespeare dalam Karya

Kami dapat dengan aman mengatakan bahwa pria ini mengubah dunia, mentalitas, persepsi, sikap terhadap seni seperti itu. William Shakespeare, yang karyanya dipelajari dalam kurikulum sekolah, adalah seorang jenius sejati. Lakon dan puisinya bisa disebut sebagai ensiklopedia sejati hubungan antarmanusia, semacam cermin kehidupan, cerminan kekurangan dan kelebihan manusia.

jenius yang hebat

Karya Shakespeare merupakan kontribusi yang mengesankan bagi sastra dunia. Selama hidupnya, orang Inggris yang hebat itu menciptakan tujuh belas komedi, sebelas tragedi, selusin kronik, lima puisi, dan seratus lima puluh empat soneta. Menariknya, subjek mereka, masalah yang dijelaskan di dalamnya, relevan hingga hari ini. Bahkan banyak peneliti karya penulis naskah tidak dapat menjawab bagaimana pada abad keenam belas seseorang dapat menciptakan karya yang menggairahkan semua generasi. Bahkan dihipotesiskan bahwa karya-karya tersebut ditulis bukan oleh satu orang, melainkan oleh sekelompok pengarang tertentu, melainkan dengan satu nama samaran. Tapi kebenarannya belum ditetapkan.

Biografi singkat

Shakespeare, yang karyanya begitu dicintai banyak orang, meninggalkan banyak misteri dan sedikit sekali fakta sejarah. Diyakini bahwa ia dilahirkan di dekat Birmingham, di kota Stratford-upon-Avon, pada tahun 1564. Ayahnya terlibat dalam perdagangan dan merupakan warga negara kaya. Tetapi masalah sastra dan budaya tidak dibahas dengan William kecil: pada saat itu tidak ada lingkungan di kota yang kondusif untuk pengembangan bakat.

Anak laki-laki itu bersekolah di sekolah gratis, pada usia delapan belas tahun dia menikah (secara paksa) dengan seorang gadis kaya, dia delapan tahun lebih tua darinya. Rupanya, Shakespeare tidak menyukai kehidupan keluarga, jadi dia bergabung dengan sekelompok seniman pengembara dan berangkat ke London. Tetapi dia tidak beruntung menjadi seorang aktor, jadi dia menulis puisi untuk menghormati orang-orang berpengaruh, melayani kuda pengunjung teater yang kaya, bekerja sebagai pembisik, dan menyelesaikan penulisan drama. Karya pertama Shakespeare muncul saat ia berusia 25 tahun. Kemudian dia menulis lagi dan lagi. Mereka dikirim dan berhasil. Pada tahun 1599, atas biaya para seniman grup, termasuk Shakespeare, Teater Globe yang terkenal dibangun. Di dalamnya, penulis naskah bekerja tanpa lelah.

Fitur karya

Karya-karya Shakespeare pun berbeda dengan drama dan komedi tradisional. Ciri khas mereka adalah konten yang dalam, adanya intrik yang mengubah orang. William menunjukkan betapa rendahnya bahkan seorang bangsawan pun dapat jatuh di bawah pengaruh keadaan dan, sebaliknya, betapa penjahat terkenal melakukan perbuatan besar. Penulis drama memaksa karakternya untuk mengungkapkan karakter mereka secara bertahap, seiring perkembangan plot, dan penonton berempati dengan karakter tersebut, untuk mengikuti adegan tersebut. Karya-karya Shakespeare juga dicirikan oleh kesedihan moral yang tinggi.

Tidaklah mengherankan jika kejeniusan dramaturgi selama hidupnya merampas pendapatan banyak penulis, karena publik justru menuntut karyanya. Dan dia memenuhi persyaratan permintaan - dia menulis drama baru, memutar ulang cerita kuno, menggunakan kronik sejarah. Sukses memberi William kemakmuran, dan bahkan lambang bangsawan. Dia meninggal, seperti yang diyakini pada umumnya, setelah pesta ceria untuk merayakan ulang tahunnya dalam lingkungan yang bersahabat.

Karya Shakespeare (daftar)

Kami tidak dapat mencantumkan semua karya penulis drama Inggris terhebat di artikel ini. Tapi mari kita tunjukkan karya Shakespeare yang paling terkenal. Daftarnya adalah sebagai berikut:

• "Romeo dan Juliet".
• "Dukuh".
• "Macbeth".
• "Mimpi di malam musim panas".
• "Othello".
• "Raja Lear".
• "Pedagang dari Venesia".
• "Banyak basa-basi tentang apa-apa".
• "Badai".
• "Dua Verona".

Drama ini dapat ditemukan dalam repertoar teater yang menghargai diri sendiri. Dan, tentu saja, untuk memparafrasekan pepatah terkenal, kita dapat mengatakan bahwa aktor yang tidak bermimpi memerankan Hamlet itu buruk, aktris yang tidak ingin memerankan Juliet itu buruk.

Menjadi atau tidak menjadi?

Karya Shakespeare "Hamlet" adalah salah satu yang paling cemerlang, paling tajam. Citra pangeran Denmark menggairahkan ke lubuk jiwa, dan pertanyaannya yang abadi membuat Anda berpikir tentang hidup Anda. Bagi yang belum membaca tragedi tersebut dalam versi lengkapnya, kami akan menceritakan ringkasannya. Drama tersebut dimulai dengan kemunculan hantu pada raja-raja. Dia bertemu dengan Hamlet dan memberitahunya bahwa raja tidak mati secara wajar. Ternyata arwah sang ayah menuntut balas dendam - pembunuh Claudius tidak hanya mengambil istri mendiang raja, tapi juga tahta. Ingin memastikan kebenaran kata-kata night vision, sang pangeran berpura-pura menjadi orang gila dan mengundang seniman pengembara ke istana untuk menggelar tragedi tersebut. Reaksi Claudius mengungkapkannya, dan Hamlet memutuskan untuk membalas dendam. Intrik istana, pengkhianatan terhadap kekasih dan mantan sahabatnya membuat pangeran pembalas tanpa hati. Dia membunuh beberapa dari mereka untuk membela dirinya sendiri, tetapi dibunuh oleh pedang saudara laki-laki Ophelia yang telah meninggal. Pada akhirnya, semua orang mati: baik Claudius, yang secara tidak jujur ​​naik takhta, dan ibu, yang meminum anggur yang diracuni oleh suaminya, disiapkan untuk Hamlet, dan pangeran itu sendiri, dan lawannya Laertes. Shakespeare, yang karyanya meneteskan air mata, menggambarkan masalahnya tidak hanya di Denmark. Tapi seluruh dunia, khususnya monarki herediter.

Tragedi dua kekasih

"Romeo and Juliet" karya Shakespeare adalah kisah menyentuh tentang dua anak muda yang siap mengorbankan diri untuk bersama orang pilihan mereka. Ini adalah kisah tentang keluarga yang bertikai yang tidak mengizinkan anak-anaknya untuk bersama, untuk bahagia. Tetapi anak-anak bangsawan yang bertikai tidak peduli dengan aturan yang ditetapkan, mereka memutuskan untuk bersama. Pertemuan mereka dipenuhi dengan kelembutan dan perasaan yang dalam. Tetapi mempelai laki-laki ditemukan untuk gadis itu, dan orang tuanya menyuruhnya untuk mempersiapkan pernikahan. Kakak Juliet terbunuh dalam perkelahian jalanan antara perwakilan dari dua keluarga yang bertikai, dan Romeo dianggap sebagai pembunuhnya. Penguasa ingin mengirim penjahat ke luar kota. Orang-orang muda dibantu oleh seorang biksu dan perawat, tetapi mereka belum sepenuhnya membahas semua detail pelarian tersebut. Akibatnya, Juliet meminum ramuan, dari mana dia jatuh ke Romeo, tetapi menganggap kekasihnya telah meninggal dan meminum racun di ruang bawah tanahnya. Setelah bangun, gadis itu bunuh diri dengan belati pria itu. Montagues dan Capulets berdamai, berduka atas anak-anak mereka.

Pekerjaan lain

Tapi William Shakespeare menulis karya dan lain-lain. Ini adalah komedi lucu yang membangkitkan semangat, ringan dan hidup. Mereka bercerita tentang orang-orang, meskipun terkenal, tetapi mereka yang tidak asing dengan cinta, hasrat, perjuangan untuk hidup. Permainan kata, kesalahpahaman, kecelakaan bahagia membawa karakter ke akhir yang bahagia. Jika kesedihan hadir dalam lakon, maka itu hanya sekejap, seperti untuk mempertegas gejolak ceria di atas panggung.

Soneta si jenius hebat juga orisinal, penuh dengan pemikiran, perasaan, pengalaman yang dalam. Dalam sajak, penulis berpaling kepada seorang teman, kekasih, berduka dalam perpisahan dan bersukacita dalam sebuah pertemuan, kecewa. Bahasa, simbol, dan gambar melodi khusus membuat gambar yang sulit dipahami. Menariknya, di sebagian besar soneta, Shakespeare merujuk pada seorang pria, mungkin Henry Risley, Earl of Southampton, pelindung penulis naskah. Dan baru kemudian, dalam karya-karya selanjutnya, seorang wanita berkulit gelap, seorang genit yang kejam, muncul.

Alih-alih kata penutup

Setiap orang hanya diwajibkan untuk membaca setidaknya dalam terjemahan, tetapi konten lengkap dari karya Shakespeare yang paling terkenal, untuk memastikan bahwa jenius terbesar memiliki kemampuan seorang nabi, karena ia mampu mengidentifikasi masalah masyarakat modern sekalipun. . Dia adalah seorang peneliti jiwa manusia, memperhatikan kekurangan dan kelebihannya, dan mendorong perubahan. Dan bukankah itu tujuan seni dan guru besar?

William Shakespeare

Karya penulis besar Inggris William Shakespeare memiliki kepentingan dunia. Kejeniusan Shakespeare sangat disayangi oleh seluruh umat manusia. Dunia ide dan gambaran penyair humanis memang sangat besar. Signifikansi universal Shakespeare terletak pada realisme dan kebangsaan karyanya.

William Shakespeare lahir pada tanggal 23 April 1564 di Stratford-on-Avon dalam keluarga seorang pembuat sarung tangan. Penulis drama masa depan belajar di sekolah tata bahasa, tempat mereka mengajar bahasa Latin dan Yunani, serta sastra dan sejarah. Kehidupan di kota provinsi memberikan kesempatan untuk berhubungan dekat dengan orang-orang yang darinya Shakespeare belajar cerita rakyat Inggris dan kekayaan bahasa sehari-hari. Untuk sementara waktu, Shakespeare adalah seorang guru junior. Pada tahun 1582 dia menikah dengan Anna Hathaway; dia memiliki tiga anak. Pada 1587, Shakespeare berangkat ke London dan segera mulai bermain di atas panggung, meskipun ia tidak terlalu sukses sebagai aktor. Dari tahun 1593 dia bekerja di Teater Burbage sebagai aktor, sutradara dan penulis naskah, dan dari tahun 1599 dia menjadi pemegang saham Teater Globe. Drama Shakespeare sangat populer, meskipun hanya sedikit orang yang tahu namanya saat itu, karena penonton terutama memperhatikan para aktornya.

Di London, Shakespeare bertemu dengan sekelompok bangsawan muda. Salah satunya, Earl of Southampton, dia mendedikasikan puisinya Venus dan Adonis (Venus dan Adonis, 1593) dan Lucrece (Lucrece, 1594). Selain puisi ini, dia menulis kumpulan soneta dan tiga puluh tujuh drama.

Pada 1612 Shakespeare meninggalkan teater, berhenti menulis drama dan kembali ke Stratford-on-Avon. Shakespeare meninggal pada tanggal 23 April 1616 dan dimakamkan di kota asalnya.

Kurangnya informasi tentang kehidupan Shakespeare memunculkan apa yang disebut pertanyaan Shakespeare. Mulai dari abad XVIII. beberapa peneliti mulai mengungkapkan gagasan bahwa drama Shakespeare tidak ditulis oleh Shakespeare, tetapi oleh orang lain yang ingin menyembunyikan kepengarangannya dan menerbitkan karya-karyanya atas nama Shakespeare. Herbert Lawrence menyatakan pada 1772 bahwa penulis drama itu adalah filsuf Francis Bacon; Delia Bacon mengklaim pada tahun 1857 bahwa drama tersebut ditulis oleh anggota lingkaran Walter Raleigh, termasuk Bacon; Carl Bleibtrey pada tahun 1907, Dumblon pada tahun 1918, F. Shipulinsky pada tahun 1924 mencoba membuktikan bahwa Lord Rutland adalah penulis drama tersebut. Beberapa sarjana mengaitkan kepenulisan dengan Earl of Oxford, Earl of Pembroke, Earl of Derby. Di negara kita, teori ini didukung oleh V.M. Friche. I.A. Aksenov percaya bahwa banyak drama tidak ditulis oleh Shakespeare, tetapi hanya diedit olehnya.

Teori yang menyangkal kepenulisan Shakespeare tidak dapat dipertahankan. Mereka muncul atas dasar ketidakpercayaan pada tradisi yang menjadi sumber biografi Shakespeare, dan atas dasar keengganan untuk melihat bakat jenius pada seseorang yang berasal dari demokrasi yang tidak lulus dari universitas. Apa yang diketahui tentang kehidupan Shakespeare sepenuhnya menegaskan kepengarangannya. Pikiran filosofis, pandangan dunia puitis, luasnya pengetahuan, wawasan mendalam tentang masalah moral dan psikologis - Shakespeare memiliki semua ini berkat peningkatan membaca, komunikasi dengan orang-orang, partisipasi aktif dalam urusan pada masanya, sikap penuh perhatian terhadap kehidupan.

Karier Shakespeare dibagi menjadi tiga periode. Pada periode pertama (1591-1601), puisi "Venus dan Adonis" dan "Lucretia", soneta dan hampir semua kronik sejarah diciptakan, kecuali "Henry VIII" (1613); tiga tragedi: "Titus Andronicus", "Romeo and Juliet" dan "Julius Caesar". Genre yang paling khas dari periode ini adalah komedi yang ceria dan ceria ("The Taming of the Shrew", "A Midsummer Night's Dream", "The Merchant of Venice", "The Merry Wives of Windsor", "Much Ado About Nothing" , "Sesukamu", "Malam Kedua Belas").

Periode kedua (1601-1608) ditandai dengan ketertarikan pada konflik tragis dan pahlawan tragis. Shakespeare menciptakan tragedi: Hamlet, Othello, King Lear, Macbeth, Antony dan Cleopatra, Coriolanus, Timon of Athens. Komedi-komedi yang ditulis selama periode ini sudah memiliki refleksi yang tragis; dalam komedi "Troilus and Cressida" dan "Measure for Measure", elemen satir diintensifkan.

Periode ketiga (1608-1612) termasuk tragikomedi "Pericles", "Cymbeline", "The Winter's Tale", "The Tempest", di mana fantasi dan alegorisme muncul.

Soneta Shakespeare (1592-1598, diterbitkan pada 1699) adalah puncak puisi Renaisans Inggris dan tonggak sejarah puisi dunia. Pada akhir abad XVI. soneta menjadi genre utama dalam puisi Inggris. Soneta Shakespeare, dalam kedalaman filosofis, kekuatan liris, perasaan dramatis, dan musikalitasnya, menempati tempat yang luar biasa dalam perkembangan seni soneta pada masa itu. 154 soneta yang dibuat oleh Shakespeare disatukan oleh citra seorang pahlawan liris yang menyanyikan tentang persahabatannya yang setia dengan seorang pemuda yang luar biasa dan cintanya yang kuat dan menyakitkan untuk seorang wanita berkulit gelap (The Dark Lady of the Sonetas). Soneta Shakespeare adalah pengakuan liris; sang pahlawan menceritakan tentang kehidupan hatinya, tentang perasaannya yang saling bertentangan; ini adalah monolog yang penuh gairah, dengan marah mencela kemunafikan dan kekejaman yang menguasai masyarakat, dan menentangnya dengan nilai-nilai spiritual yang langgeng - persahabatan, cinta, seni. Soneta mengungkapkan dunia spiritual pahlawan liris yang kompleks dan beraneka segi, yang dengan jelas menanggapi masalah pada masanya. Penyair mengagungkan keindahan spiritual manusia sekaligus menggambarkan tragedi kehidupan dalam kondisi saat itu.

Kesempurnaan artistik dalam mengungkapkan gagasan filosofis yang mendalam tidak terlepas dari bentuk soneta yang ringkas dan padat. Soneta Shakespeare menggunakan skema rima berikut: abab cdcd efef gg. Dalam tiga syair, perkembangan tema yang dramatis diberikan, seringkali dengan bantuan kontras dan antitesis dan dalam bentuk gambaran metaforis; distich terakhir adalah pepatah yang merumuskan pemikiran filosofis dari topik tersebut.

Gambar seorang wanita berkulit gelap di soneta ke-130 dibedakan oleh keterampilan potret liris yang jujur. Shakespeare menolak perbandingan halus dan sopan, mencoba menggambarkan wajah asli seorang wanita:

Matanya tidak terlihat seperti bintang, Bibirnya tidak bisa disebut karang, Kulitnya yang terbuka tidak seputih salju, Dan untaiannya melintir seperti kawat hitam. Dengan mawar damask, merah tua atau putih, Bayangan pipi ini tidak bisa dibandingkan. Dan tubuh tercium seperti bau tubuh, Tidak seperti kelopak ungu yang lembut. (Diterjemahkan oleh S. Marshak)

Di antara soneta yang mengungkapkan gagasan sosial terpenting, soneta ke-66 menonjol. Ini adalah kecaman marah terhadap masyarakat yang didasarkan pada keburukan, kekejaman, dan tipu daya. Dalam ungkapan singkat, semua bisul dari masyarakat yang tidak adil disebutkan. Pahlawan liris sangat khawatir tentang gambaran mengerikan tentang kemenangan kejahatan yang telah terbuka di hadapannya sehingga dia mulai menyerukan kematian. Soneta, bagaimanapun, diakhiri dengan sekilas suasana hati yang ringan. Pahlawan mengingat kekasihnya, untuk siapa dia harus hidup:

Segala sesuatu yang buruk yang saya lihat di sekitar, Tapi sayang untuk meninggalkan Anda, teman!

Monolognya yang menuduh, yang merupakan luapan kemarahan langsung, diucapkan oleh pahlawan liris itu dalam satu tarikan napas. Hal ini disampaikan dengan pengulangan penyatuan "dan" dalam sepuluh baris puitis. Penggunaan kata "tir" d dengan semua ini "(kehabisan segalanya ...) di awal dan di akhir soneta menekankan hubungan langsung antara pengalaman pahlawan liris dan masalah sosial saat itu . Pahlawan menyerap ke dunia spiritualnya segala sesuatu yang mengkhawatirkan seseorang di dunia publik Pengalaman drama pahlawan liris diekspresikan dalam pemaksaan frasa energik, yang masing-masing merupakan antitesis yang mereproduksi kontradiksi sosial yang nyata. Pahlawan tidak bisa lagi melihat Ketiadaan dalam pakaian mewah, Dan kalimat palsu untuk kesempurnaan, Dan keperawanan, disalahgunakan dengan kasar, Dan kehormatan yang tidak pantas, rasa malu, Dan kekuasaan dalam penawanan dalam kelemahan ompong ...

Perasaan intens dari pahlawan liris sesuai dengan pergantian asonansi dan aliterasi yang sering dan ketat:

Dan kebodohan - seperti dokter - keterampilan mengendalikan... Dan kapten yang hadir baik dan menawan sakit...

Melalui bahasa dan gaya, semua kekuatan emosi pahlawan yang bersemangat tersampaikan dengan sempurna. Soneta 146 didedikasikan untuk kebesaran seseorang yang, berkat pencarian spiritualnya dan pembakaran kreatifnya yang tak kenal lelah, mampu memperoleh keabadian.

Kuasai kematian dalam kehidupan yang singkat, Dan kematian akan mati, dan Anda akan tetap selamanya.

Keragaman hubungan dunia spiritual pahlawan liris dengan berbagai aspek kehidupan sosial pada masa itu ditegaskan oleh gambaran metaforis berdasarkan konsep politik, ekonomi, hukum, dan militer. Cinta terungkap sebagai perasaan yang nyata, sehingga hubungan sepasang kekasih dibandingkan dengan hubungan sosial politik saat itu. Dalam soneta ke-26 muncul konsep ketergantungan bawahan (vassalage) dan tugas duta besar (duta besar); dalam soneta ke-46 - istilah hukum: "terdakwa menolak klaim" (terdakwa menolak pembelaan); dalam soneta ke-107, gambaran yang terkait dengan ekonomi: “cinta itu seperti sewa” (sewa cinta sejatiku); dalam soneta ke-2 - istilah militer: "Ketika empat puluh musim dingin akan mengepung alismu, Dan menggali parit yang dalam di ladang keindahan .. .).

Soneta Shakespeare bersifat musikal. Seluruh struktur figuratif puisinya dekat dengan musik.

Citra puitis dalam Shakespeare juga dekat dengan citra bergambar. Dalam seni verbal soneta, penyair mengandalkan hukum perspektif yang ditemukan oleh seniman Renaisans. Soneta ke-24 dimulai dengan kata-kata: Mataku telah menjadi pemahat dan gambarmu tercetak di dadaku dengan jujur. Sejak itu saya menjadi kerangka hidup, Dan hal terbaik dalam seni adalah perspektif.

Rasa perspektif adalah cara untuk mengekspresikan dinamika keberadaan, multidimensi kehidupan nyata, keunikan individualitas manusia*.

* Lihat: Samarin P.M. realisme Shakespeare. - M., 1964, Ch. "Masalah Estetika Soneta Shakespeare". Tragedi liris soneta dikembangkan dalam tragedi Shakespeare. Soneta 127 mengantisipasi tema tragis Othello:

Hitam tidak dianggap cantik, Saat kecantikan dihargai di dunia. Tapi, ternyata cahaya putih telah berubah, - Yang cantik telah direndahkan dengan aib.

Soneta ke-66 dalam miniatur berisi muatan filosofis dan nada liris yang menjadi ciri khas tragedi "Hamlet".

Soneta Shakespeare diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia oleh I. Mamun, N. Gerbel, P. Kuskov, M. Tchaikovsky, E. Ukhtomsky, N. Kholodkovsky, O. Rumer. Terjemahan S.Ya.Marshak yang diterbitkan tahun 1949 diakui sebagai yang terbaik, karena berhasil menyampaikan kedalaman filosofis dan musikalitas soneta Shakespeare.

Pandangan dunia humanistik Shakespeare diungkapkan dengan kekuatan khusus dalam analisis artistik konflik sosial-politik dan kontradiksi tragis dalam kehidupan seseorang dan masyarakat, yang diberikan dalam kronik sejarahnya. Inti dari genre kronik sejarah terdiri dari penggambaran dramatis orang-orang nyata dan peristiwa sejarah nasional. Tidak seperti tragedi, di mana Shakespeare, demi kepentingan desain, berangkat dari penggambaran fakta sejarah yang akurat, kronik ini dicirikan oleh reproduksi peristiwa sejarah yang setia, yang, bagaimanapun, mengandaikan dugaan artistik dan penciptaan kembali materi secara artistik*.

* Lihat: Shvedov Yu.F. William Shakespeare: Studi. - M., 1977; Komarova V.P. Kepribadian dan Negara dalam Drama Sejarah Shakespeare. - L., 1977.

Kronik sejarah Shakespeare mencakup sepuluh drama:

"Henry VI. Bagian satu "(Bagian pertama dari Raja Henry VI, 1590-1592);

"Henry VI. Bagian Dua "(Bagian Kedua dari Raja Henry VI, 1590-1592);

"Henry VI. Bagian Tiga "(Bagian Ketiga dari Raja Henry VI, 1590-1592);

"Richard III" (Tragedi Raja Richard III, 1592-1593);

"Richard II" (Tragedi Raja Richard II, 1595-1597);

"Raja John" (Kehidupan dan Kematian Raja John, 1595-1597);

"Henry IV. Bagian satu "(Bagian pertama dari Raja Henry IV, 1597-1598);

"Henry IV. Bagian dua "(Bagian Kedua dari Raja Henry IV, 1597-1598);

"Henry V" (Kehidupan Raja Henry V, 1598-1599);

"Henry VIII" (Sejarah Terkenal Kehidupan Raja Henry VIII, 1612-1613).

Dalam kronik sejarah, Shakespeare memberikan pemahaman dan interpretasinya tentang peristiwa sejarah dan tindakan orang-orang bersejarah. Pada materi masa lalu, ia memecahkan masalah yang mengkhawatirkan orang-orang sezaman. Sejarah dalam kroniknya berfungsi untuk mengetahui keadaan masyarakat saat ini. Kronik, serta tragedi, dicirikan oleh kesedihan etis, rumusan filosofis tentang masalah kebaikan dan kejahatan, minat humanistik pada individu dan nasibnya. Tawarikh dalam banyak hal dekat tidak hanya dengan tragedi Shakespeare, tetapi juga dengan komedi Shakespeare; mereka memberikan gambaran komedi tentang "latar belakang Falstaffian".

Munculnya genre kronik sejarah disebabkan oleh kontradiksi dari realitas Inggris itu sendiri. V. G. Belinsky membenarkan perkembangan kronik sejarah di Inggris dengan cara ini: “Drama sejarah hanya mungkin terjadi jika elemen heterogen dari kehidupan bernegara berjuang. Bukan tanpa alasan drama telah mencapai perkembangan tertinggi di antara orang Inggris saja; bukan kebetulan bahwa Shakespeare muncul di Inggris, dan bukan di negara bagian lain mana pun: tidak ada elemen kehidupan negara yang memiliki kontradiksi seperti itu, dalam perjuangan di antara mereka sendiri, seperti di Inggris.

* Belinsky V.G. Poly. kol. cit.: Dalam 13 jilid - M, 1954.-T. 5.-S.496.

Daya tarik Shakespeare pada genre kronik sejarah juga disebabkan oleh meningkatnya minat publik terhadap sejarah nasional selama periode perjuangan untuk memperkuat negara nasional. Sumber plot kronik sejarah adalah karya R. Holinshed "Chronicles of England, Scotland and Ireland" yang telah disebutkan.

Dalam trilogi "Henry VI", sebuah kanvas lebar digambar: perang Scarlet dan White Roses digambarkan, ketika para baron Inggris secara brutal memusnahkan satu sama lain dalam perjuangan internecine antara Lancasters dan Yorks. Shakespeare dengan tepat menunjukkan perseteruan berdarah para penguasa feodal, mengutuk kedua belah pihak yang bertikai. Penulis drama menganjurkan kekuatan kerajaan yang kuat yang dapat mengakhiri perang feodal. Oleh karena itu, dia mengutuk Raja Henry VI, orang yang lemah, tidak mampu memerintah negara, tidak mampu menenangkan para baron yang bertikai. Henry VI tidak melakukan kekejaman apapun, tapi dia bersalah karena menghindari tugas kepala negara dan bermimpi menyerahkan mahkotanya untuk menjadi seorang gembala. Henry VI meninggal justru karena dia gagal menggunakan kekuatan yang diberikan kepadanya dengan bijak.

Kronik sejarah Shakespeare menunjukkan kekuatan rakyat. Para baron terpaksa memperhitungkan mood massa. Bagian kedua dari "Henry VI" menggambarkan pemberontakan John Cad pada tahun 1450. Shakespeare mengungkapkan pola protes rakyat yang muncul sehubungan dengan penderitaan para petani dan pengrajin kota akibat perselisihan sipil feodal. Namun, Shakespeare melihat bagaimana tuan feodal menggunakan pemberontakan populer untuk tujuan egois mereka sendiri.

Trilogi "Henry VI" menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat yang mengarah pada munculnya seorang tiran. Persaingan berdarah para bangsawan merupakan prasyarat untuk naiknya kekuasaan Richard dari Gloucester, calon Richard III. Di akhir trilogi, kepribadian gelap Richard Gloucester menjadi semakin berpengaruh.

Dalam lakon "Richard III" karakter ini menjadi sentral. Drama itu sendiri dekat dengan tragedi dalam strukturnya. Perhatian pada jalannya peristiwa sejarah, ciri khas "Henry VI", diganti dalam "Richard III" dengan perhatian pada karakter pahlawan dan konfliknya dengan orang lain. Richard III tampil bukan hanya sebagai karakter yang merebut kekuasaan, tetapi sebagai kepribadian yang meyakinkan secara psikologis. Shakespeare mengembangkan karakterisasi yang menuduh dirinya sebagai seorang tiran, yang diberikan kepadanya dalam buku Thomas More The History of Richard III (1514-1518). Richard III dikutuk oleh Shakespeare sebagai politisi yang menggunakan cara Machiavellian untuk mencapai kekuasaan, melakukan tindakan kriminal dalam perebutan tahta. Dia menutupi kekejaman dan rencana kriminalnya dengan argumen munafik tentang kebaikan. Pada saat yang sama, sendirian dengan dirinya sendiri, dia langsung berbicara tentang kelicikannya, tentang niat sadarnya untuk tidak memperhitungkan hati nuraninya.

Richard III cerdas dan berani, dia memiliki kemauan yang besar, menaklukkan mereka yang memperlakukannya dengan ketidakpercayaan dan permusuhan. Perilakunya adalah permainan yang menyesatkan banyak orang. Dia berhasil merayu Anna, mengetahui bahwa dia telah membunuh suaminya. Ada awal yang sangat besar dalam penampilan jahat Richard III. Bukan kebetulan bahwa V. G. Belinsky menulis: “Wajah tragis tentunya harus membangkitkan partisipasi. Richard III sendiri adalah monster penjahat, membangkitkan partisipasi dalam dirinya dengan kekuatan roh yang luar biasa. Richard III, yang membenarkan kekejamannya dengan kata-kata: "Tinju adalah hati nurani kami, dan hukum adalah pedang kami," akhirnya mengalami kepedihan hati nurani dan, saat menghadapi kematian, mengutuk dirinya sendiri karena melanggar sumpahnya, melakukan pembunuhan dan karenanya menghukum dirinya sendiri untuk kesepian.

* Belinsky V.G. Poly. kol. cit.: Dalam 13 jilid - M, 1955. - T. 7. - S. 534.

Aksi dalam lakon tersebut merupakan implementasi dari rencana jahat yang licik dari sang protagonis, ia menunjukkan seni intrik Richard III, yang dirinya berperan sebagai aktor dan sutradara dalam adegan kekerasan dan pembunuhan. Dia bermain dengan percaya diri dan berani, tindakannya mengarah pada kesuksesan: dia mencari tahta. Tapi, setelah menjadi raja, tiran itu merasa tidak bisa memperkuat kekuasaannya melalui kejahatan.

Mengutuk tirani, Shakespeare mengedepankan gagasan tentang monarki yang dapat membangun kedamaian dan ketenangan di negara tersebut. Tiran Richard III menentang Earl of Richmond, pendiri dinasti Tudor. Gambaran ini hanya diuraikan di sini, tetapi signifikansi ideologis dan komposisinya sangat bagus: gagasan tentang perlunya melawan despotisme, tentang hukum kemenangan atas tirani, terkait dengannya. Tema raja, merawat kebaikan negara, yang digariskan dalam gambar Richmond, tumbuh di kronik berikutnya - "Raja John" - menjadi tema raja patriotik. Drama itu diciptakan pada saat Inggris merasa terancam oleh Katolik Spanyol. Oleh karena itu, tema patriotisme dan tema penghukuman Katolik menjadi sentral dalam kronik tersebut. Tema patriotisme terungkap dalam gambar John the Landless dan Bastard Fockenbridge.

Posisi patriotik Shakespeare menjadi kriteria utama dalam menilai tingkah laku para tokoh dalam lakon "Richard II". Dalam plotnya, drama ini mirip dengan "Edward II" karya Christopher Marlowe. Kedua karya tersebut menggambarkan penolakan raja bejat dari mahkota dan kematiannya. Namun, kemiripan situasi plot tidak begitu banyak dijelaskan oleh pengaruh drama Marlo pada drama Shakespeare, melainkan oleh kedekatan nasib para tokoh sejarah. Richard II yang lihai merasa waktu telah berbalik melawannya. Dalam keadaan krisis spiritual yang dalam, dia menolak mahkota.

Duke Henry Bolingbroke, antagonis Richard II, adalah seorang politikus yang cerdas dan halus. Keberanian dan keberanian Bolingbroke membangkitkan simpati dari masyarakat untuknya. Duke dengan terampil menggunakan popularitasnya di kalangan rakyat jelata untuk menjalankan rencananya yang ambisius. Shakespeare memperlakukan patriotisme Bolingbroke dengan simpati yang besar, tetapi berbicara dengan permusuhan yang jelas tentang kemunafikan, kehati-hatian, dan ambisinya. Perampasan kekuasaan diwakili oleh tindakan asusila yang mengarah ke kejahatan - pembunuhan Richard P.

Drama sejarah terbaik Shakespeare adalah dua bagian "Henry IV" dan "Henry V". Bolingbroke, yang menjadi Raja Henry IV, berkonflik dengan tuan tanah feodal. Lawan utamanya adalah baron dari keluarga Percy. Membangkitkan pemberontakan melawan raja, tuan feodal bertindak tidak konsisten, kepentingan egois menghalangi mereka untuk bersatu. Akibat perpecahan selama pemberontakan ini, Henry Percy yang pemberani, yang dijuluki Hotspur ("Hot Spur"), meninggal secara tragis. Dan dalam kronik ini, Shakespeare menunjukkan kekalahan para tuan feodal yang tak terhindarkan dalam bentrokan dengan kekuasaan kerajaan. Meski demikian, Knight of Hotspur digambarkan secara positif. Dia membangkitkan simpati atas kesetiaannya pada cita-cita kehormatan militer, keberanian, dan keberanian. Shakespeare tertarik dengan kualitas moral seorang ksatria pemberani. Tapi dia tidak menerima Hotsper sebagai orang yang mengekspresikan kepentingan tuan feodal dan diasosiasikan dengan kekuatan yang memudar ke masa lalu. Hotspur bertindak sebagai musuh Henry IV, Pangeran Harry dan Falstaff, dan dia jelas lebih rendah dari para pahlawan ini, yang mewakili kekuatan masyarakat yang baru dan berkembang. Drama tersebut mencerminkan keteraturan objektif waktu: kematian tragis para tuan feodal dan pembentukan kekuatan baru secara bertahap - absolutisme.

Raja Henry IV, setelah menemukan dirinya di atas takhta berkat tindakan diplomatik yang terampil, akhirnya kehilangan aktivitasnya dan, seperti para pendahulunya, menemukan dirinya dalam keadaan krisis moral. Henry IV prihatin bahwa dia gagal membersihkan negara dari perang saudara. Sesaat sebelum kematian Henry IV yang sakit, menjauh dari kecurigaan dan kerahasiaan sebelumnya, dalam percakapan dengan putranya, dia secara langsung mengungkapkan kepeduliannya terhadap nasib Inggris, memberikan nasihat kepada Pangeran Harry tentang urusan publik. Henry IV tidak dapat mengakhiri perjuangan melawan tuan feodal karena dia sendiri selalu bertindak seperti tuan feodal dan berkuasa sebagai tuan feodal, setelah merebut tahta.

Peran terpenting dalam plot kedua bagian "Henry IV" dimainkan oleh citra Pangeran Harry, calon Raja Henry V. Sesuai dengan legenda yang ada di zaman Renaisans, Shakespeare menampilkan Pangeran Harry sebagai orang yang tidak bermoral, terlibat dalam petualangan yang menyenangkan dan lucu bersama Falstraff. Namun terlepas dari pesta pora, Pangeran Harry adalah pria yang murni secara moral. Meskipun pada kenyataannya Pangeran Harry adalah seorang petualang yang kejam, Shakespeare menggambarkannya sebagai pemuda yang luar biasa. Idealisasi sang pangeran disebabkan oleh kepercayaan Shakespeare pada sifat progresif monarki absolut yang mempersatukan bangsa.

Karakter Pangeran Harry memiliki banyak segi. Dia bertindak tegas dan berani dalam pertempuran, lincah dan langsung dalam berurusan dengan rakyat, cerdas dan berpandangan jauh ke depan dalam urusan negara. Pangeran Harry menghabiskan hidupnya dalam hiburan, bersama dengan Falstaff, Bardolph dan Pistol, dia bersenang-senang di Boar's Head Tavern. Tetapi bahkan dalam adegan pesta pora, Harry tetap menjadi pria yang mulia. Dia menarik sikap baik terhadap orang biasa, kemampuan untuk menemukan bahasa yang sama dengan mereka. Memimpin kehidupan orang yang tidak bermoral, sang pangeran pada saat yang sama berpikir dengan sangat serius tentang bagaimana dia akan berkuasa dan memerintah negara. Komunikasi demokratis dengan masyarakat kelas bawah bagi Pangeran Harry merupakan bentuk perkenalan yang luas dengan mereka yang akan menjadi rakyatnya.

Kronik sejarah "Henry IV" dan "Henry V" menggambarkan lapisan masyarakat kampungan yang beraneka ragam - petani, pelayan, tentara, pedagang, yang disebut "latar belakang Falstaff". Realisme drama sejarah ditentukan oleh penggambaran masyarakat yang beraneka segi dan beraneka segi. Mengangkat pertanyaan tentang posisi rakyat, tentang hubungan raja dengan rakyat, menjadi sangat penting. "Latar belakang Falstaff" adalah gambaran realistis tentang kehidupan masyarakat kelas bawah, tidak hanya pada saat aksi kronik berlangsung, tetapi juga Inggris sezaman dengan Shakespeare.

Di antara karakter "latar belakang Falstaffian", gambar komik cerah dari Sir John Falstaff menonjol di tempat pertama. Ksatria gendut ini menimbulkan tawa dengan kejenakaan dan ucapannya yang jenaka. Ada banyak sifat buruk di Falstaff. Dia adalah seorang libertine, pemabuk, pembohong dan perampok. Karenanya sentuhan satir dalam gambar ini. Tapi hal utama di Falstaff adalah unsur kesenangan, permainan artistik, kecerdikan tanpa akhir. Gambar ini menyampaikan pesona sifat manusia yang tidak dibatasi oleh konvensi sosial. Falstaff baik hati dan terus terang, ceria dan ceria, giat dan bijaksana. Falstaff nakal dan nakal, yang muncul dikelilingi oleh karakter komik, mewujudkan semangat ceria Renaisans, menentang moralitas agama Abad Pertengahan dan kemunafikan puritan dari kalangan borjuis. Falstaff menertawakan kefanatikan agama. Seorang bangsawan dan ksatria yang miskin, dia hidup dari perampokan jalan raya. Sadar akan kekuatan uang, dia pada saat yang sama tidak tunduk pada mereka. Berbeda dengan kaum borjuis, Falstaff tidak lagi haus akan penimbunan atau penimbunan kecil-kecilan dan berhemat. Dia butuh uang untuk menikmati hidup.

Falstaff menentang Hotspur dengan penolakannya terhadap kehormatan ksatria. Kehormatan ksatria dari tuan feodal dikurangi menjadi partisipasi wajib dalam perang internecine. Ksatria Falstaff memiliki sikap negatif terhadap kehormatan ksatria justru karena dia melihat kekejaman perang yang tidak masuk akal. Falstaff adalah gambar komik dari seorang pejuang saat itu. Dia sangat mengkhawatirkan hidupnya, yang lebih disayanginya daripada apa pun di dunia ini, oleh karena itu dia tidak melayani dengan sangat keras, menutupi kekurangan semangat pelayanannya dengan kelicikan dan kebohongan.

Falstaff memesona dengan kecintaannya yang tak terbatas pada kehidupan, fantasi yang tak terkendali, lawak main-main, kepercayaan diri, kritik cerdas dan jenaka terhadap moralitas feodal. Penilaian sinis Falstaff adalah bentuk di mana esensi hubungan yang tidak menarik dalam masyarakat feodal terungkap dan ditekankan.

Salah satu gambar terpenting yang dibuat oleh Shakespeare, Falstaff mewakili dunia komedi drama Shakespeare, sementara Hamlet menandai dunia tragedi. Gambar Falstaff adalah korespondensi komik dengan rencana tragis dari konten utama kronik sejarah. Masalah-masalah yang terungkap dalam alur cerita utama dalam aspek tragis, dalam "latar belakang Falstaffian" disajikan dengan cara yang lucu. Pidato Falstaff disajikan dalam bentuk prosa, berbeda dengan pidato puitis dari tokoh-tokoh tragis. Pidatonya lugas, sangat wajar mengungkap budaya tawa bahasa nasional. Seringkali lelucon Falstaff didasarkan pada permainan kata-kata yang homonim, pada parodi. Citra lucu Falstaff juga didasarkan pada perbedaan yang digarisbawahi antara penampilan seorang juru kampanye tua yang gemuk dan tindakan serta pernyataan ceria dan berani dari seorang pemuda yang bersemangat.

Pangeran Harry berteman dengan Falstaff hedonis yang cerdas. Saat sang pangeran menjadi Raja Henry V, dia menyingkirkan Falstaff dari dirinya sendiri. Dalam hubungan karakter tersebut, terdapat gaung dari hubungan nyata antara Henry V dan Sir John Oldcastle, yang dianggap sebagai prototipe Falstaff.

Hubungan antara Falstaff dan Pangeran Harry penuh dengan makna yang dalam. Berkat persahabatannya dengan Falstaff, Pangeran Harry bergabung dengan semangat kritik dan keceriaan Renaisans, berkenalan dengan kehidupan dan adat istiadat rakyat jelata. Dalam hubungan dengan Pangeran Harry, Falstaff percaya; dia menganggap pangeran sebagai teman sejatinya. Dalam kasih sayang yang bersahabat, kemurahan hati spiritual dari kepribadian Renaisans, keunggulan Falstaff atas "raja ideal" terwujud. Tapi Falstaff lebih rendah dari Pangeran Harry dalam penilaian keadaan baru. Perpisahan Pangeran Harry dengan Falstaff tidak bisa dihindari. "Raja ideal" Henry V, setelah berkuasa, meninggalkan mantan orang bebas Renaisans. Baik humor maupun kemurahan hati tidak diperlukan untuk memperkuat rezim absolut.

Pada periode pertama kreativitas, bersama dengan kronik sejarah, Shakespeare menciptakan komedi ceria dan optimis di mana seseorang bertindak sebagai pencipta kebahagiaannya sendiri, mengatasi situasi dramatis yang terkadang sulit. Komedi termasuk drama berikut: The Comedy of Errors (1591), The Taming of the Shrew (1594), The Two Gentlemen of Verona (1594-1595), Upaya cinta yang sia-sia "(Love "s Labor" s Lost, 1594 -1595), "A Midsummer Night's Dream" (A Midsummer-Night's Dream, 1594-1595), "The Merchant of Venice" (The Merchant of Venice, 1595) , "The Merry Wives of Windsor" (The Merry Wives dari Windsor, 1597), "Much Ado about Nothing" (Much Ado about Nothing, 1598-1599), "As You Like It" (Sesuka Anda, 1599-1600), "Twelfth Night, or Anything" (Twelfth Night ; atau What You Will, 1600).

Dalam drama lucu The Taming of the Shrew, karakter cemerlang Catarina dan Petruchio muncul, menonjol di antara penduduk kota Padua yang penuh perhitungan. Katarina terkenal sebagai gadis yang keras kepala, sedangkan adiknya Bianca dikenal lemah lembut. Ketegaran dan kekasaran Katarina hanyalah cara untuk mempertahankan harga dirinya, cara untuk melawan perhitungan kecil, despotisme ayahnya dan para pelamar yang mengepung rumah. Katharina kesal dengan Bianchi yang tak berwajah, dataran rendah para pelamar. Dengan kekasarannya yang biasa, dia juga bertemu Petruchio. Duel panjang dimulai di antara mereka, akibatnya mereka berdua merasa tidak kalah satu sama lain dalam energi, ketabahan, cinta hidup dan kecerdasan, bahwa mereka layak satu sama lain dalam pikiran dan kemauan.

Ide kemenangan hidup dan cinta juga terungkap dalam komedi A Midsummer Night's Dream. Dunia puitis komedi ini berada dalam campuran yang aneh antara yang duniawi, yang nyata, dengan yang luar biasa, yang fantastis. Dalam komedi Shakespeare ini, sang humanis mengontraskan sifat konvensional dari moralitas tradisional dengan kealamian alami dari perasaan dan nafsu manusia. Tema cinta dicakup di sini dengan liris dan humoris. Cinta para pahlawan muda adalah perasaan yang murni dan cerah. Itu menang, terlepas dari semua tingkah dan keanehan karakter manusia dan perilaku manusia.

Ada konflik yang sangat dramatis dan bahkan motif tragis dalam komedi Shakespeare. Dalam hal ini, komedi "Pedagang Venesia" adalah tipikal. Dengan latar belakang suasana karnaval Venesia yang ceria, terjadi benturan tajam antara dunia kegembiraan, kepercayaan, dan kemuliaan dengan dunia kepentingan pribadi, keserakahan, dan kekejaman. Dalam komedi ini, Shakespeare mengembangkan motif cerita pendek karya Giovanni Fiorentino, memberikan kedalaman yang dramatis. Drama tersebut sangat kontras dengan mereka yang paling menghargai persahabatan tanpa pamrih - Portia, Antonio, Bassanio, dan mereka yang menundukkan semua hubungan manusia untuk kepentingan kepemilikan. Antonio meminjam uang dari pegadaian Shylock untuk membantu temannya Bassanio, yang jatuh cinta dengan Portia. Antonio, yang tidak mengembalikan uang pinjaman tepat waktu, hadir di hadapan pengadilan. Shylock yang kejam, menurut tagihan, menuntut dari Antonio satu pon dagingnya untuk tidak membayar hutang. Portia, menyamar sebagai pengacara, berbicara untuk membela Antonio. Kebaikan menang atas kejahatan. Orang-orang muda mengalahkan rentenir.

Citra Shylock dihadirkan dalam komedi tidak hanya sebagai perwujudan kejahatan. Karakter Shylock memang kompleks. Keserbagunaan Shylock dicatat oleh Pushkin: "Shylock itu pelit, cerdas, pendendam, penyayang anak, jenaka"*. Ada awal yang tragis dalam gambar ini. Shylock ditampilkan sebagai perampas yang kejam dan pendendam, tetapi pada saat yang sama sebagai orang yang menderita karena posisinya yang terhina di masyarakat. Dengan rasa martabat manusia yang tinggi, Shylock mengatakan bahwa manusia pada dasarnya setara, terlepas dari perbedaan kebangsaan. Shylock mencintai putrinya Jessica dan terkejut karena dia kabur dari rumahnya. Beberapa fiturnya Shylock dapat menimbulkan simpati, tetapi secara umum dia dikutuk sebagai pemangsa, sebagai orang yang tidak mengenal belas kasihan, sebagai "orang yang tidak memiliki musik dalam jiwanya". Dunia jahat Shylock ditentang dalam komedi oleh dunia kemurahan hati dan kemuliaan yang cerah dan menyenangkan. Heinrich Heine, dalam Shakespeare's Girls and Women (1838), menulis: "Portia adalah perwujudan yang jelas secara harmonis dari kegembiraan yang cerah, berlawanan dengan kemalangan suram yang diwujudkan Shylock" **.

* Kritikus Pushkin. - M, 1950. - S.412.

** Heine G.Sobr. cit.: Dalam 10 volume - M; L., 1958. - T.7. - S.391.

Dalam komedi rumah tangga ceria The Merry Wives of Windsor, seluruh galeri gambar komik diberikan: kebodohan Hakim Shallow, keponakannya Slender, diejek, pendeta Hugh Evans bercanda. Seluruh kelompok karakter komik dari kronik sejarah "Henry IV" masuk ke dalam komedi ini - Falstaff, Bardolph, Shallow, Pistol, Mrs Quickly.

Citra Falstaff mengalami perubahan signifikan dalam The Merry Wives of Windsor. Dia kehilangan pemikiran bebas, humor, kecerdikannya. Sekarang Falstaff memainkan peran birokrasi yang malang, yang diberi pelajaran oleh istri Windsor. Begitu berada di lingkungan kelas menengah, ia menjadi penduduk yang sengsara dan membosankan, menjadi bijaksana dan hemat.

Komedi "The Merry Wives of Windsor" dijiwai dengan suasana karnaval yang menyenangkan. Namun, tidak seperti komedi lainnya, aksi di dalamnya terjadi di lingkungan borjuis, yang memberi Shakespeare kesempatan untuk menyampaikan kehidupan nyata dan adat istiadat pada masa itu secara lebih luas, terutama dalam adegan yang menggambarkan keberadaan sehari-hari Pages dan Fords, kehidupan penginapan, duel Caius dengan Evans, ujian Page.

Intrik aneh dan setting aksi dalam komedi Much Ado About Nothing diambil dari karya Bandello dan Ariosto. Shakespeare memperkenalkan ke dalam plot terkenal, yang juga digunakan oleh Spencer, kombinasi asli dari tragis dan komik.

Komedi As You Like It, berdasarkan novel pastoral Thomas Lodge Rosalind, atau Warisan Emas Euphues, pada dasarnya adalah parodi gaya pastoral. Hidup di pangkuan alam, di hutan Ardennes, adalah semacam utopia, ekspresi impian akan kehidupan yang sederhana dan alami. Warna keseluruhan komedi ditentukan bukan oleh unsur pastoral, tetapi oleh tradisi cerita rakyat balada tentang Robin Hood. Tidak hanya gembala Sylvius dan Phoebe yang tinggal di hutan Ardennes, tetapi juga orang buangan: adipati yang digulingkan, Rosalind, dikejar oleh pamannya yang kejam, dirampok oleh saudara laki-lakinya Orlando. Dunia manusia penghuni hutan Ardennes menentang masyarakat modern yang kejam dan rakus. Kritik satir terhadap keburukan masyarakat aristokrat diberikan dalam pernyataan pelawak jenaka Touchstone dengan humor rakyatnya dan Jacques yang melankolis. Jester Touchstone dengan sangat sederhana dan tepat menilai kehidupan wanita petani Audrey.

Unsur humor dari lakon tersebut dipadukan dengan tema liris dari perasaan lembut Orlando dan Rosalind. Hasil aneh dari komedi Shakespeare pada periode pertama kreativitas adalah komedi Twelfth Night, or Anything. Ditulis di plot salah satu cerpen Bandello, ia mendapatkan namanya karena dibawakan pada malam kedua belas setelah Natal, saat keseruan liburan Natal berakhir. Twelfth Night adalah yang terakhir dari komedi karnaval Shakespeare yang ceria dan ceria.

Di Twelfth Night, Shakespeare menembus ke dalam lubuk hati manusia, berbicara tentang kejutan dalam perilaku manusia, tentang gerakan spiritual yang tak terduga, tentang selektivitas perasaan. Dasar dari intrik komedi adalah kebetulan yang tiba-tiba mengubah nasib seseorang. Komedi tersebut menegaskan gagasan bahwa, terlepas dari semua keanehan takdir, seseorang harus berjuang untuk kebahagiaannya sendiri.

Adegan drama itu adalah negara eksotis Illyria. Penguasanya Duke Orsino hidup di dunia cinta dan musik yang mempesona. Nilai tertinggi baginya adalah cinta. Orsino jatuh cinta dengan Olivia, yang tidak membalas perasaannya. Dia hidup sebagai pertapa, menghabiskan waktu dengan pikiran sedih tentang saudara laki-lakinya yang telah meninggal. Viola, yang selamat dari kecelakaan kapal, menemukan dirinya berada di wilayah adipati. Menyamar sebagai laki-laki, dia, dengan nama Cesario, melayani sang duke. Viola Cesario jatuh cinta dengan Orsino, tetapi dia tanpa pamrih memenuhi permintaan Duke untuk pergi ke Olivia dan menceritakan tentang cintanya.

Ketekunan Cesario, yang berusaha masuk ke rumah Olivia, kefasihan berbicara kepadanya, memikat sang pertapa. Olivia jatuh cinta dengan Cesario, mengakui hasratnya padanya dan berbicara tentang cinta:

Cinta selalu indah dan diinginkan, Apalagi saat tidak terduga. (Diterjemahkan oleh E.Lipetskaya)

Atas kehendak takdir, saudara laki-laki Viola, Sebastian, yang menghilang saat kecelakaan kapal, ternyata berada di Illyria, sangat mirip dengan saudara perempuannya. Olivia, yang bertemu Sebastian, salah mengira dia Cesario. Saat rahasianya terungkap, pernikahan bahagia terjadi.

Dalam sistem gambar komedi, tempat penting milik badut Festa. Keunikan Feste adalah humornya yang menyedihkan. Dia berbicara tentang kefanaan hidup dan kebahagiaan, tentang kematian yang tak terhindarkan. Jester Feste, bersama dengan sekelompok orang yang ceria dan pelawak Toby Belch, mengejek kepala pelayan Olivia, Malvolio puritan yang arogan. Malvolio tidak memiliki selera humor. Kecerdikan Feste membuatnya kesal. Malvolio yang suram adalah musuh kesenangan dan kegembiraan. Semua yang dia katakan adalah peneguhan dan kecaman yang terus menerus. Menanggapi kekerasan puritan Malvolio, Toby Belch mengatakan kepadanya kata-kata yang menjadi populer di Inggris: "Apakah menurut Anda jika Anda adalah orang suci seperti itu, maka tidak akan ada lagi pai atau bir mabuk di dunia?"

Pada periode pertama kreativitas, Shakespeare menciptakan tiga tragedi: "Titus Andronicus" (Titus Andronicus, 1594), "Romeo and Juliet" (Romeo and Juliet, 1595), "Julius Caesar" (Julius Caesar, 1599).

"Titus Andronicus" ditulis dalam genre "tragedi berdarah", dalam tradisi tragedi Seneca. Episode plot dari lakon ini adalah pembunuhan yang mengikuti satu demi satu. Dua puluh putra Titus Andronicus meninggal, putrinya dan dirinya sendiri, banyak karakter lainnya meninggal. Komandan Titus Andronicus setia pada tugas patriotiknya ke Roma. Namun, moralitas seorang patriot yang tinggi tidak lagi menyelamatkan Roma dari kehancuran. Saturninus yang berbahaya dan kejam, Tamora, dan Moor Aron memasuki pertarungan dengan Titus Andronicus. Tabrakan yang tajam secara dramatis terungkap, bagaimanapun, sebagai rangkaian kekejaman berdarah, tanpa menyentuh secara mendalam esensi dari konflik tragis tersebut.

Seni tragis Shakespeare, dengan segala kesempurnaannya, pertama kali muncul dalam tragedi Romeo dan Juliet. Sebagai sumber, Shakespeare menggunakan puisi Arthur Brooke "Romeo and Juliet" (1562), yang plotnya kembali ke karya penulis Italia. Berawal dari puisi Brooke, Shakespeare menciptakan sebuah karya yang orisinal dalam ide dan keterampilan artistik. Dia menyanyikan di dalamnya ketulusan dan kemurnian perasaan muda, menyanyikan cinta, bebas dari belenggu moralitas feodal abad pertengahan. V. G. Belinsky mengatakan ini tentang gagasan lakon ini: “Kesedihan drama Shakespeare Romeo dan Juliet adalah gagasan cinta, dan oleh karena itu pidato menyedihkan yang antusias mengalir dari bibir kekasih dalam gelombang yang berapi-api, berkilau dengan cahaya terang bintang ... Ini adalah kesedihan cinta, karena dalam monolog liris Romeo dan Juliet orang tidak hanya dapat melihat kekaguman satu sama lain, tetapi juga pengakuan cinta yang khidmat, bangga, dan gembira sebagai perasaan ilahi.

* Belinsky V.G. Poly. kol. cit.: Dalam 13 jilid - T.7. - S.313.

Dalam "Romeo and Juliet" ada hubungan nyata dengan komedi Shakespeare. Kedekatan dengan komedi tercermin dalam peran utama tema cinta, dalam karakter komik perawat, dalam kecerdasan Mercutio, dalam lelucon dengan para pelayan, dalam suasana karnaval bola di rumah Capulet, di pewarnaan yang cerah dan optimis dari keseluruhan permainan. Namun, dalam perkembangan tema utamanya - cinta para pahlawan muda - Shakespeare berubah menjadi tragis. Awal yang tragis muncul dalam lakon itu dalam bentuk konflik kekuatan sosial, dan bukan sebagai drama pergulatan batin dan spiritual.

Penyebab kematian tragis Romeo dan Juliet adalah perseteruan keluarga Montague dan Capulet serta moralitas feodal. Perselisihan antar keluarga merenggut nyawa anak muda lainnya - Tybalt dan Mercutio. Yang terakhir, sebelum kematiannya, mengutuk perselisihan ini: "Tulah di kedua rumahmu." Baik Duke maupun penduduk kota tidak bisa menghentikan permusuhan. Dan hanya setelah kematian Romeo dan Juliet datanglah rekonsiliasi dari Montagues dan Capulets yang bertikai.

Perasaan kekasih yang tinggi dan cerah menandai kebangkitan kekuatan baru dalam masyarakat di awal era baru. Tetapi benturan moralitas lama dan baru pasti membawa para pahlawan ke akhir yang tragis. Tragedi itu diakhiri dengan penegasan moral tentang vitalitas perasaan manusia yang indah. Tragedi "Romeo dan Juliet" adalah liris, diresapi dengan puisi masa muda, peninggian jiwa yang mulia dan kekuatan cinta yang menaklukkan segalanya. Kata-kata terakhir dari drama itu dikipasi dengan tragedi liris:

Namun tidak ada kisah yang lebih menyedihkan di dunia selain kisah Romeo dan Juliet. (Diterjemahkan oleh T. Shchepkina-Kupernik)

Dalam karakter tragedi tersebut, keindahan spiritual seorang pria Renaisans terungkap. Romeo muda adalah orang yang bebas. Dia sudah menjauh dari keluarga patriarkalnya dan tidak terikat oleh moralitas feodal. Romeo menemukan kegembiraan dalam berkomunikasi dengan teman-teman: sahabatnya adalah Mercutio yang mulia dan berani. Cinta untuk Juliet menerangi kehidupan Romeo, membuatnya menjadi orang yang berani dan kuat. Dalam peningkatan perasaan yang cepat, dalam ledakan alami dari gairah muda, kepribadian manusia mulai berkembang. Dalam cintanya, penuh kegembiraan kemenangan dan firasat masalah, Romeo bertindak sebagai sifat yang aktif dan energik. Dengan keberanian apa dia menanggung kesedihan yang disebabkan oleh berita kematian Juliet! Betapa besar tekad dan keberanian dalam kesadaran bahwa hidup tanpa Juliet tidak mungkin baginya!

Bagi Juliet, cinta telah menjadi suatu prestasi. Dia dengan gagah berani melawan moralitas Domostroy ayahnya dan menentang hukum perseteruan darah. Keberanian dan kebijaksanaan Juliet terwujud dalam kenyataan bahwa dia mengatasi perselisihan lama antara dua keluarga. Setelah jatuh cinta pada Romeo, Juliet menolak konvensi tradisi sosial yang kejam. Rasa hormat dan cinta untuk seseorang lebih penting baginya daripada semua aturan yang dikuduskan oleh tradisi. Juliet berkata:

Lagipula, hanya namamu yang menjadi musuhku, Dan kamu - itu kamu, bukan Montagues.

Dalam cinta, jiwa indah dari pahlawan wanita terungkap. Juliet menawan dengan ketulusan dan kelembutan, semangat dan pengabdian. Jatuh cinta dengan Romeo seumur hidupnya. Setelah kematian kekasihnya, tidak ada kehidupan untuknya, dan dia dengan berani memilih kematian.

Biksu Lorenzo menempati tempat penting dalam sistem penggambaran tragedi itu. Saudara Lorenzo jauh dari fanatisme agama. Ini adalah ilmuwan humanis, dia bersimpati dengan tren baru dan aspirasi cinta kebebasan yang muncul di masyarakat. Jadi, dia membantu, sebisa mungkin, Romeo dan Juliet, yang terpaksa menyembunyikan pernikahan mereka. Lorenzo yang bijak memahami kedalaman perasaan para pahlawan muda, tetapi melihat bahwa cinta mereka dapat berujung pada akhir yang tragis.

Pushkin sangat menghargai tragedi ini. Dia menyebut gambar Romeo dan Juliet sebagai "kreasi menawan dari keanggunan Shakespeare", dan Mercutio - "halus, penuh kasih sayang, mulia", "wajah terindah dari semua tragedi". Secara keseluruhan, Pushkin berbicara tentang tragedi ini sebagai berikut: "Itu mencerminkan Italia, sezaman dengan penyair, dengan iklim, hasrat, liburan, kebahagiaan, soneta, dengan bahasanya yang mewah, penuh kecemerlangan dan kekokohan."

Tragedi "Julius Caesar" melengkapi siklus kronik sejarah dan mempersiapkan munculnya tragedi besar Shakespeare. Penulis drama menggunakan materi dari Plutarch's Comparative Lives dan menciptakan tragedi sejarah orisinal, di mana ia memberikan pemahaman yang mendalam tentang masalah kekuasaan negara, sifat politisi, hubungan antara pandangan filosofis politisi dan tindakan praktisnya, masalah moralitas dan politik, kepribadian dan manusia. Menyerahkan "Julius Caesar" ke konflik sejarah abad ke-1. SM, ketika di Roma ada transisi dari pemerintahan republik ke rezim otokrasi, Shakespeare juga memikirkan konflik sosial-politik di Inggris kontemporer, di mana posisi terisolasi dari tuan feodal digantikan oleh kekuasaan absolut.

Shakespeare bersimpati dengan kaum Republikan, menunjukkan pengabdian mereka yang gagah berani kepada masyarakat, tetapi pada saat yang sama ia sadar bahwa para Kaisarian bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Upaya Brutus untuk memulihkan republik pasti gagal, karena dia bertindak bertentangan dengan perintah zaman. Dia setuju dengan pembunuhan Caesar karena dia melihat dalam dirinya lawan utama republik. Tetapi Brutus gagal meyakinkan rakyat akan kebaikan pemerintahan republik, karena rakyat, sesuai dengan semangat zaman, mempertahankan rezim otokrasi saat itu. Orang-orang siap untuk mengakui Brutus sebagai seorang penguasa, tetapi mereka ingin melihatnya sebagai Kaisar baru yang lebih baik. Suara rakyat secara tragis bertentangan dengan apa yang diperjuangkan Brutus; orang-orang berkata: "biarkan dia menjadi Kaisar", "di dalam dirinya kita akan memahkotai semua yang terbaik dari Kaisar." Yakin bahwa republik akan hancur, Brutus bunuh diri.

Jika dalam kronik orang-orang adalah salah satu kekuatan aktif, salah satu dari banyak pahlawan, maka dalam "Julius Caesar" orang-orang untuk pertama kalinya dalam drama Shakespeare menjadi tokoh utama. Baik Partai Republik maupun Kaisar dipaksa untuk memperhitungkannya. Citra rakyat sangat ekspresif dalam adegan perselisihan politik antara Partai Republik dan Caesarian di forum jenazah Caesar yang baru saja dibunuh. Perselisihan ini diselesaikan oleh orang-orang, yang memihak Caesarian Mark Antony. Tragedi "Julius Caesar" membuktikan penetrasi mendalam Shakespeare ke dalam kontradiksi sosio-historis, ke dalam konflik masyarakat yang tragis.

Pada periode kedua kreativitas dalam pandangan dunia Shakespeare, terjadi perubahan signifikan. Mereka ditentukan oleh sikap penulis naskah terhadap fenomena baru dalam kehidupan sosial politik masyarakat Inggris. Kekuatan absolut semakin jelas mengungkapkan kerusakannya, kehilangan signifikansi progresifnya. Kontradiksi muncul antara Parlemen dan Ratu Elizabeth. Dengan berkuasanya James I Stuart (1603), rezim feodal reaksioner didirikan di negara tersebut. Kontradiksi antara parlemen dan kekuasaan kerajaan semakin dalam. Massa rakyat berada dalam situasi tertekan. Krisis sistem feodal-absolutis dan perbedaan antara kebijakan Stuart dan kepentingan borjuasi menyebabkan tumbuhnya oposisi borjuis terhadap absolutisme. Prasyarat untuk revolusi borjuis sedang muncul di negeri ini.

Dalam kondisi tersebut, Shakespeare berangkat dari kepercayaan pada raja yang ideal. Kesedihan kritis dari karyanya meningkat. Shakespeare menentang reaksi feodal dan egoisme borjuis.

Karakter karnaval yang ceria, cerah, dan ceria dari banyak karya periode pertama kreativitas digantikan oleh refleksi yang berat tentang masalah dalam kehidupan masyarakat, tentang kekacauan dunia. Periode baru karya Shakespeare dicirikan oleh perumusan masalah sosial, politik, filosofis yang hebat, analisis mendalam tentang konflik tragis zaman itu dan tragedi kepribadian masa transisi. Ini adalah periode penciptaan tragedi besar, di mana Shakespeare menyampaikan sifat historis dari tabrakan tragis dan malapetaka yang muncul di era runtuhnya dunia patriarkal-kesatria dan masuknya predator sinis ke dalam arena sejarah. hubungan kapitalis baru.

Periode kedua karya Shakespeare dibuka dengan tragedi Hamlet (Hamlet, Prince of Denmark, 1600-1601). Sumber tragedi itu adalah "History of the Danes" oleh Saxo Grammaticus, "The Tragic Tales" oleh Belforet, "The Spanish Tragedy" oleh Thomas Kyd, dan drama Thomas Kyd tentang Hamlet, yang belum sampai kepada kita.

Di era yang berbeda, "Hamlet" Shakespeare dianggap berbeda. Sudut pandang Goethe diketahui, diungkapkan olehnya dalam novel “The Years of the Teaching of Wilhelm Meister” (1795-1796). Goethe memandang tragedi sebagai murni psikologis. Dalam karakter Hamlet, ia menekankan kelemahan kemauan yang tidak sesuai dengan perbuatan besar yang dipercayakan kepadanya.

VG Belinsky dalam artikel “Hamlet, drama Shakespeare. Mochalov as Hamlet (1838) mengungkapkan pandangan yang berbeda. Hamlet, menurut V. G. Belinsky, mengalahkan kelemahan kemauannya, oleh karena itu gagasan utama tragedi itu bukanlah kelemahan kemauan, tetapi “gagasan kehancuran karena keraguan”, kontradiksi antara mimpi hidup dan kehidupan itu sendiri, antara ideal dan realitas. Belinsky mempertimbangkan dunia batin Hamlet dalam pembuatannya. Oleh karena itu, kelemahan kemauan dianggap sebagai salah satu momen perkembangan spiritual Hamlet, seorang pria yang pada dasarnya kuat. Menggunakan citra Hamlet untuk mencirikan situasi tragis pemikiran orang-orang di Rusia pada tahun 30-an abad ke-19, Belinsky mengkritik refleksi yang menghancurkan integritas kepribadian yang aktif.

I.S. Turgenev di tahun 60-an abad XIX. mengacu pada citra Hamlet untuk memberikan penilaian sosio-psikologis dan politik tentang "Hamletisme" dari "orang yang berlebihan". Dalam artikel "Hamlet and Don Quixote" (1860), Turgenev menampilkan Hamlet sebagai seorang egois, skeptis yang meragukan segalanya, tidak percaya pada apapun, dan karena itu tidak mampu bertindak. Berbeda dengan Hamlet, Don Quixote dalam interpretasi Turgenev adalah seorang penggila, pelayan sebuah ide yang percaya pada kebenaran dan memperjuangkannya. I.S. Turgenev menulis bahwa pemikiran dan kemauan berada dalam jurang yang tragis; Hamlet adalah orang yang berpikir, tetapi berkemauan lemah, Don Quixote adalah seorang penggila yang berkemauan keras, tetapi setengah gila; jika Hamlet tidak berguna bagi massa, maka Don Quixote menginspirasi orang untuk bertindak. Pada saat yang sama, Turgenev mengakui bahwa Hamlet dekat dengan Don Quixote dalam ketidakberdayaannya terhadap kejahatan, bahwa orang-orang memahami benih pemikiran dari Hamlet dan menyebarkannya ke seluruh dunia.

Dalam kritik sastra Soviet, interpretasi mendalam tentang tragedi "Hamlet" diberikan dalam karya A.A. Anikst, A.A. Smirnov, R.M. Samarin, I.E. Vertsman, L.E. Pinsky, Yu.F..* * Lihat: Anikst A.A. Karya Shakespeare. - M., 1963; sendiri. Shakespeare: Karya Sang Dramatis. - M., 1974; Smirnov A.A. Shakespeare. - L.; M., 1963; PM Samarin realisme Shakespeare. - M., 1964; V e r c m a n I.E. Dusun Shakespeare. - M., 1964; Pinsky L.E. Shakespeare: Dasar-dasar Dramaturgi. - M., 1971; Shvedov Yu.F. Evolusi tragedi Shakespeare. -M., 1975.

Seorang mahasiswa di Universitas Wittenberg, Hamlet di istana raja Denmark Claudius di Elsinore merasa kesepian. Denmark tampak seperti penjara baginya. Sudah di awal tragedi, konflik ditunjukkan antara pemikir humanis Hamlet dan dunia Claudius yang tidak bermoral, antara kepribadian yang mencintai kebebasan dan kekuatan absolut. Hamlet memandang dunia secara tragis. Pangeran sangat memahami apa yang terjadi di Elsinore. Konflik di istana Claudius, dia pahami sebagai keadaan damai. Kecerdasan Hamlet, penilaian aphoristiknya yang bijak mengungkapkan esensi hubungan dalam masyarakat saat itu. Di Hamlet, sebagai tragedi orang yang berpikir dalam masyarakat yang tidak adil, kecerdasan sang pahlawan dipuitiskan. Pikiran Hamlet menentang ketidak masuk akal dan ketidakjelasan Claudius yang lalim.

Cita-cita moral Hamlet adalah humanisme, dari posisi yang dikutuk kejahatan sosial. Kata-kata Hantu tentang kejahatan Claudius menjadi pendorong dimulainya perjuangan Hamlet melawan kejahatan sosial. Sang pangeran bertekad untuk membalas dendam pada Claudius atas pembunuhan ayahnya. Claudius melihat Hamlet sebagai antagonis utamanya, jadi dia memberi tahu anggota istananya Polonius, Rosencrantz, dan Guildenstern untuk memata-matai dia. Hamlet yang perseptif mengungkap semua tipu muslihat raja, yang mencoba mencari tahu tentang rencananya dan menghancurkannya. Kritikus sastra Soviet L. E. Pinsky menyebut Hamlet sebagai tragedi pengetahuan tentang kehidupan: “... Seorang pahlawan yang pada dasarnya aktif tidak melakukan tindakan yang diharapkan karena dia mengetahui dunianya dengan sempurna. Ini adalah tragedi kesadaran, kesadaran ... "*

*Pinsky L.E. Shakespeare: Dasar-dasar Dramaturgi. - S.129.

Pandangan tragis Hamlet, refleksi filosofisnya disebabkan bukan oleh apa yang terjadi di Elsinore (pembunuhan ayah Hamlet dan pernikahan ibunya Ratu Gertrude dengan Claudius), tetapi oleh kesadaran akan ketidakadilan umum yang berlaku di dunia. Hamlet melihat lautan kejahatan dan merefleksikan dalam monolognya yang terkenal "Menjadi atau tidak menjadi" tentang bagaimana seseorang harus bertindak ketika menghadapi kebusukan dalam masyarakat. Monolog "Menjadi atau tidak menjadi" mengungkapkan esensi dari tragedi Hamlet - baik dalam hubungannya dengan dunia luar maupun di dunia batinnya. Pertanyaan yang muncul di hadapan Hamlet: bagaimana bertindak saat melihat jurang kejahatan - berdamai atau berperang?

Menjadi atau tidak menjadi adalah pertanyaannya; Apa yang lebih mulia - dalam semangat untuk tunduk pada Slings dan anak panah dari takdir yang ganas Atau, mengangkat senjata melawan lautan masalah, untuk membunuh mereka dengan Konfrontasi? (Diterjemahkan oleh M. Lozinsky)

Hamlet tidak bisa tunduk pada kejahatan; dia siap melawan kekejaman dan ketidakadilan yang merajalela di dunia, tetapi dia sadar bahwa dia akan binasa dalam perjuangan ini. Hamlet memiliki gagasan bunuh diri sebagai cara untuk mengakhiri "kerinduan dan seribu siksaan alam", namun bunuh diri bukanlah pilihan, karena kejahatan tetap ada di dunia dan di hati nurani seseorang ("Itulah kesulitannya; apa mimpi akan diimpikan dalam mimpi kematian..." ). Lebih lanjut, Hamlet berbicara tentang kejahatan sosial, menyebabkan kemarahan pada orang yang jujur ​​\u200b\u200bdan manusiawi:

Siapa yang akan menanggung cambuk dan ejekan abad ini, Penindasan yang kuat, ejekan yang sombong, Rasa sakit dari cinta yang hina, kelambatan para hakim, Kesombongan otoritas dan penghinaan, Diberikan pada jasa yang lemah lembut ...

Refleksi atas malapetaka jangka panjang umat manusia, di lautan kejahatan, membuat Hamlet meragukan keefektifan metode perjuangan yang mungkin dilakukan saat itu. Dan keraguan mengarah pada fakta bahwa tekad untuk bertindak lama tidak diwujudkan dalam tindakan itu sendiri.

Hamlet adalah orang yang berkemauan keras, energik, dan aktif. Dengan segenap kekuatan jiwanya, ia diarahkan untuk mencari kebenaran, memperjuangkan keadilan. Pikiran dan keragu-raguan Hamlet yang menyakitkan adalah pencarian cara yang lebih benar dalam perang melawan kejahatan. Dia ragu-ragu dalam memenuhi kewajiban balas dendamnya juga karena dia akhirnya harus meyakinkan dirinya sendiri dan meyakinkan orang lain tentang kesalahan Claudius. Untuk melakukan ini, dia mengatur adegan "perangkap tikus": dia meminta aktor pengembara untuk memainkan drama yang dapat mengekspos Claudius. Selama pertunjukan, Claudius mengkhianati dirinya sendiri dengan kebingungannya. Hamlet yakin akan kesalahannya, tetapi terus menunda balas dendam. Hal ini menyebabkan dalam dirinya perasaan tidak puas dengan dirinya sendiri, perselisihan mental.

Hamlet menggunakan pertumpahan darah hanya dalam kasus luar biasa, ketika dia tidak bisa tidak bereaksi terhadap kejahatan dan keburukan yang nyata. Jadi, dia membunuh Polonius, mengirim Rosencrantz dan Guildenstern untuk memata-matai dia sampai mati, lalu membunuh Claudius sendiri. Dia berbicara dengan kasar dan kejam kepada Ophelia yang dicintainya, yang ternyata menjadi alat di tangan musuh-musuhnya. Tetapi kejahatannya ini tidak disengaja, itu dari ketegangan kesadarannya, dari kebingungan dalam jiwanya, terkoyak oleh perasaan yang saling bertentangan.

Karakter mulia Hamlet, penyair dan filsuf, tampak lemah dari sudut pandang mereka yang tidak berhenti untuk mencapai tujuannya. Nyatanya, Hamlet adalah pria yang kuat. Tragedi dia terletak pada kenyataan bahwa dia tidak tahu bagaimana mengubah keadaan dunia yang tidak adil, bahwa dia menyadari ketidakefektifan alat perjuangan yang dia miliki, bahwa orang yang jujur, berpikir dapat membuktikan kasusnya hanya pada biaya kematiannya.

Kemurungan Hamlet muncul sebagai akibat dari pemahaman bahwa "waktu telah keluar dari persendiannya" dan berada dalam keadaan kacau dan bermasalah. Dalam komposisi tragedi tersebut, monolog liris dan filosofis sang pangeran menempati tempat yang luas, di mana kesadaran mendalam akan semangat zaman diungkapkan.

Sifat filosofis umum dari refleksi Hamlet membuat tragedi ini dekat dengan zaman lain juga. Hamlet menyadari bahwa dia tidak dapat mengatasi kejahatan yang menguasai dunia; tahu bahwa setelah kematian Claudius, kejahatan tidak akan hilang, karena kejahatan terkandung dalam struktur kehidupan sosial saat itu. Mengacu pada orang-orang di sekitarnya, Hamlet berkata: "Tidak ada satu pun orang yang menyenangkan saya." Dan pada saat yang sama, bagi Hamlet sang humanis, yang ideal adalah kepribadian manusia yang indah: “Sungguh ciptaan yang luar biasa - seorang pria! Betapa mulianya pikiran! Betapa tak terbatasnya kemampuan, bentuk, dan gerakannya! Betapa tepat dan menakjubkannya aksi! Betapa seperti malaikat dia dalam wawasan yang mendalam! Betapa seperti dewa dia! Keindahan alam semesta! Mahkota semua yang hidup! Hamlet melihat perwujudan cita-cita ini pada ayahnya dan pada temannya Horatio.

Perkembangan plot dalam tragedi tersebut sangat ditentukan oleh kegilaan pura-pura sang pangeran. Apa arti dari tindakan dan pernyataan Hamlet yang dianggap gila? Untuk bertindak di dunia gila Claudius, Hamlet terpaksa memakai topeng kegilaan. Dalam peran ini, dia tidak perlu munafik dan berbohong, dia mengatakan kebenaran yang pahit. Topeng kegilaan sesuai dengan perselisihan spiritual sang pangeran, impulsif tindakannya, keberanian gila dalam perjuangan untuk kebenaran di bawah tirani Claudius.

Kecelakaan tragis memainkan peran besar dalam plot. Di akhir tragedi, serangkaian kecelakaan diberikan - para pahlawan yang berpartisipasi dalam duel bertukar rapier, gelas dengan minuman beracun jatuh ke tangan orang yang salah, dan seterusnya. Hasil tragis mendekat dengan keniscayaan yang tak terhindarkan. Tapi itu datang dalam bentuk yang tidak terduga dan pada waktu yang tidak terduga. Struktur sosial yang tidak masuk akal membingungkan baik rencana yang masuk akal maupun yang sembrono dan menyebabkan keniscayaan tragis dari "hukuman yang tidak disengaja, pembunuhan yang tidak terduga".

Hamlet lamban dalam memenuhi tugasnya, tetapi dia siap untuk bertindak kapan saja, dan di adegan terakhir baginya "kesiapan adalah segalanya". Hamlet adalah kepribadian yang heroik. Dia siap untuk melawan kejahatan dan menegaskan kebenaran bahkan dengan mengorbankan kematiannya sendiri. Bukan kebetulan bahwa setelah semua peristiwa tragis almarhum Hamlet, atas perintah Fortinbras, mereka dimakamkan dengan penghormatan militer. Sebelum kematiannya, Hamlet mengungkapkan keinginannya agar orang tahu tentang kehidupan dan perjuangannya. Dia meminta Horatio untuk mengungkapkan kepada dunia penyebab peristiwa tragis tersebut, untuk menceritakan kisah Pangeran Denmark.

Hamlet adalah tragedi realistis yang mencerminkan kompleksitas masa ketika humanisme Renaisans memasuki masa krisis. Tragedi itu sendiri mengungkapkan gagasan tentang perlunya penggambaran hidup yang objektif. Dalam percakapan dengan para aktor, Hamlet mengungkapkan pandangan tentang seni yang sepenuhnya konsisten dengan posisi estetika Shakespeare. Pertama-tama, efek mencolok dari mereka yang siap untuk "melahirkan kembali Herodes" ditolak; diusulkan untuk menyesuaikan "tindakan dengan ucapan, ucapan dengan tindakan" dan "tidak melangkahi kesederhanaan alam"; esensi seni dirumuskan; "untuk memegang, seolah-olah, cermin di depan alam, untuk menunjukkan keutamaan dari fitur-fiturnya sendiri, kesombongan - penampilannya sendiri, dan untuk setiap zaman dan kelas - kemiripan dan jejaknya."

Tabrakan sejarah utama akhir abad XVI. - konflik antara dunia kepahlawanan ksatria dan kriminalitas kekuasaan absolut - masing-masing diwujudkan dalam gambar dua bersaudara, ayah Hamlet dan Claudius. Hamlet mengagumi ayah-pahlawannya dan membenci Claudius yang munafik dan pengkhianat serta segala sesuatu yang berdiri di belakangnya, yaitu. dunia intrik keji dan korupsi umum.

Tragedi "Othello" (Othello, the Moor of Venice, 1604) dibuat berdasarkan novel "The Moor of Venice" oleh Geraldi Cinthio. Kisah cinta dan kematian tragis Othello dan Desdemona ditampilkan oleh Shakespeare dengan latar belakang sosial yang luas. Perwakilan dari pemerintah Venesia muncul dalam tragedi tersebut - Doge, senator Brabantio, Gratiano, Lodovico; lingkungan militer digambarkan - Iago, Cassio, Montano. Dengan latar belakang tersebut, nasib Othello dan Desdemona memperoleh makna sosio-psikologis yang dalam.

Moor Othello adalah kepribadian yang luar biasa. Berkat keberaniannya, dia mencapai posisi tinggi di masyarakat, menjadi komandan Venesia, jenderal. Kehidupan pejuang ini penuh dengan bahaya, dia harus banyak melihat dan menanggung banyak hal. Dari semua pencobaan, Othello tampil sebagai pria pemberani dan pemberani, mempertahankan kemurnian dan semangat perasaan. Itu mewujudkan cita-cita Renaisans tentang orang yang cantik. Moor yang mulia cerdas dan aktif, berani dan jujur. Untuk ini, putri senator Venesia Desdemona jatuh cinta padanya:

Aku jatuh cinta padanya dengan keberanianku, Dia jatuh cinta padaku dengan simpatinya. (Diterjemahkan oleh B. Pasternak)

Kecintaan Othello dan Desdemona merupakan tantangan heroik terhadap konvensi tradisional. Cinta ini didasarkan pada saling pengertian dan kepercayaan yang mendalam.

Karakter Desdemona terkait dengan karakter Othello. Desdemona juga dicirikan oleh keberanian dan mudah tertipu. Demi kekasihnya, dia kabur dari rumah dan meninggalkan Venesia saat Othello diangkat menjadi gubernur Siprus. Othello memanggilnya "prajurit cantik". Dalam penampilan Desdemona yang menawan, keberanian berpadu dengan kelembutan. Tetapi jika Desdemona tetap menjadi orang yang harmonis dan utuh sampai akhir, maka Othello membiarkan "kekacauan" masuk ke dalam jiwanya, dan ini menyebabkan bencana. Desdemona mempertahankan kepercayaan pada Othello; tetapi kepercayaan dirinya terguncang di bawah pengaruh intrik dari Iago yang rendah dan berbahaya.

Tidak tahu bagaimana menjelaskan alasan Othello berubah untuknya, Desdemona mengerti bahwa alasan ini bukanlah kecemburuan. Dia berkata:

Othello pintar dan tidak terlihat seperti orang-orang vulgar yang pencemburu...

Dan ketika pelayan Emilia bertanya kepada Desdemona apakah Othello cemburu, dia dengan percaya diri menjawab:

Tentu saja tidak. Matahari tropis Semua kekurangan ini membara dalam dirinya.

Desdemona, tidak seperti siapa pun, memahami jiwa Othello. Memang, kecemburuan muncul di Othello bukan sebagai akibat dari kecurigaan, balas dendam atau ambisi, tetapi sebagai manifestasi dari rasa kepercayaan yang tertipu, martabat yang tersinggung. Dengan ironi yang tragis, Othello menganggap bukan Iago, yang menipu Moor yang mudah tertipu, tetapi Desdemona yang murni dan setia, sebagai biang keladi dari perasaan kepercayaan yang tertipu. Othello berkata tentang dirinya sendiri:

Dia tidak mudah cemburu, tetapi dalam badai perasaan dia menjadi marah ...

A.S. Pushkin dengan demikian mencirikan Othello: "Othello pada dasarnya tidak cemburu - sebaliknya: dia percaya."

Othello sangat mencintai Desdemona, bahkan ketika dia memutuskan untuk membunuhnya. Dia berpikir bahwa dia memulihkan keadilan, melakukan tugasnya. Percaya pada fitnah Iago, dia percaya bahwa dia tidak bisa membiarkan Desdemona menipu orang lain. Dia penuh kesadaran akan kewajiban tinggi kepada orang-orang: pembunuhan Desdemona berarti baginya penghapusan kebohongan sebagai bahaya umum. Tragedi Othello adalah tragedi kepercayaan yang tertipu, tragedi dibutakan oleh nafsu. Cinta untuknya menentukan sikap Othello terhadap orang-orang, terhadap dunia. Saat persatuan mereka harmonis, Othello menganggap dunia itu indah; ketika dia percaya pada ketidakjujuran Desdemona, semuanya muncul di hadapannya dalam bentuk kacau yang suram.

Jujur Othello menjadi korban intrik jahat Iago, tidak menyadari bahwa dia menipu dia. Shakespeare tidak secara langsung menunjukkan alasan kebencian Iago terhadap Othello, meskipun Iago berbicara tentang keinginannya untuk mencapai karier, kecemburuan terhadap Othello, perasaan penuh nafsunya terhadap Desdemona. Hal utama dalam karakter Iago adalah keinginan Machiavellian untuk meraih keunggulan atas orang lain dengan cara apa pun. Iago, tentu saja, cerdas dan aktif, tetapi kemampuannya, "keberanian" sepenuhnya berada di bawah rencana egoisnya. "Keberanian" Iago bersifat individualistis dan tidak bermoral. Dia merumuskan minat utamanya sebagai berikut: "Kemasi dompet Anda dengan ketat." Perencana Iago sinis dan munafik. Kebenciannya pada Othello dijelaskan oleh perbedaan mendasar antara sifat, pandangan, dan sikap hidup mereka. Bangsawan Othello adalah negasi dari egosentrisme borjuis Iago. Itulah mengapa dia tidak bisa mendamaikan dirinya dengan penegasan prinsip etika Othello dalam hidup. Iago menggunakan sarana dasar untuk mendorong Othello yang lugas dari jalan hidupnya yang mulia, untuk menjerumuskannya ke dalam kekacauan nafsu individualistis.

Shakespeare sang realis menunjukkan ke mana seseorang bisa pergi, terbebas dari belenggu feodal. Seseorang bisa menjadi cerdas dan cantik secara moral, seperti sosok heroik Othello, atau rendah, tidak bermoral, seperti Iago yang sinis. Inferioritas moral mengubah kebebasan individu menjadi kebalikannya, yaitu. menjadi ketergantungan budak pada nafsu gelap dan kepentingan egois. Iago bertindak melawan Othello dan Desdemona dengan fitnah dan tipu daya. Dia memanfaatkan Othello yang mudah tertipu, mempermainkan temperamen sang pahlawan yang bersemangat, atas ketidaktahuannya tentang adat istiadat masyarakat. Transisi cepat Othello yang mulia dari kepahlawanan menjadi kebutaan oleh hasrat gelap menunjukkan bahwa kepribadian Renaisans yang berjiwa bebas rentan, karena tingkat hubungan sosial pada masa itu tidak memungkinkan cita-cita humanistik kepribadian terwujud sepenuhnya dalam kenyataan. Shakespeare menunjukkan tragedi kepribadian gagah berani yang mendapati dirinya terseret ke dalam hubungan dasar masyarakat borjuis yang sebenarnya dan tidak mampu melindungi dirinya dari hasrat gelap.

Episode "pengakuan" mengungkapkan martabat manusia dari sang pahlawan, keagungan moralnya. Dengan kegembiraan spiritual, Othello mengetahui bahwa Desdemona mencintainya dan setia kepadanya, tetapi pada saat yang sama dia terkejut bahwa hal terburuk terjadi: dia membunuh orang yang tidak bersalah dan mengabdi padanya Desdemona. Bunuh diri Othello di adegan terakhir adalah hukuman atas dirinya sendiri karena kepergiannya dari keyakinan pada manusia. Oleh karena itu, akhir yang tragis menegaskan kemenangan moral kaum bangsawan atas kekuatan gelap kejahatan.

Konflik antara individu dan masyarakat dalam aspek baru ditunjukkan dalam tragedi "King Lear" (King Lear, 1605-1606). Ini adalah tragedi martabat manusia dalam masyarakat yang tidak adil.

Esensi dan evolusi karakter Lear didefinisikan dengan sangat akurat oleh N.A. Dobrolyubov: “Lear memiliki sifat yang sangat kuat, dan sikap tunduk padanya secara umum hanya mengembangkannya secara sepihak - bukan untuk perbuatan cinta yang besar dan kebaikan bersama, tetapi hanya untuk kepuasan keinginan pribadinya sendiri. Ini sangat bisa dimengerti pada orang yang terbiasa menganggap dirinya sebagai sumber dari semua suka dan duka, awal dan akhir dari semua kehidupan di kerajaannya. Di sini, dengan ruang lingkup tindakan eksternal, dengan kemudahan memenuhi semua keinginan, tidak ada yang mengungkapkan kekuatan spiritualnya. Tetapi sekarang pemujaan dirinya melampaui semua batas akal sehat: dia mentransfer langsung ke kepribadiannya semua kecemerlangan itu, semua rasa hormat yang dia nikmati untuk martabatnya; dia memutuskan untuk melepaskan kekuasaan, yakin bahwa bahkan setelah itu orang tidak akan berhenti gemetar padanya. Keyakinan gila ini membuatnya memberikan kerajaannya kepada putri-putrinya dan, melalui itu, dari posisi biadabnya yang tidak masuk akal, beralih ke gelar sederhana sebagai orang biasa dan mengalami semua kesedihan yang terkait dengan kehidupan manusia. “Melihatnya, pertama-tama kami merasa benci terhadap lalim yang tidak bermoral ini; tetapi, mengikuti perkembangan drama, kita menjadi semakin berdamai dengannya seperti dengan seorang pria dan akhirnya dipenuhi dengan kemarahan dan kebencian yang membara tidak lagi terhadapnya, tetapi untuk dia dan untuk seluruh dunia - ke situasi yang liar dan tidak manusiawi itu. yang dapat menyebabkan pesta pora seperti itu bahkan terhadap orang-orang seperti Lear.

*Dobrolyubov N.A. Sobr. cit.: Dalam 9 volume - M; L., 1962. T.5. - S.52.

**Ibid. - S.53.

"King Lear" adalah tragedi sosial. Ini menunjukkan batas-batas kelompok sosial yang berbeda dalam masyarakat. Perwakilan dari kehormatan ksatria lama adalah Lear, Gloucester, Kent, Albany; dunia predasi borjuis diwakili oleh Goneril, Regan, Edmond, Cornwall. Di antara dunia-dunia ini ada perjuangan yang tajam. Masyarakat berada dalam keadaan krisis yang mendalam. Gloucester mencirikan penghancuran fondasi sosial sebagai berikut: “Cinta mendingin, persahabatan melemah, perselisihan saudara ada di mana-mana. Ada kerusuhan di kota-kota, di desa perselisihan, di istana pengkhianatan, dan ikatan keluarga antara orang tua dan anak-anak hancur ... Waktu terbaik kita telah berlalu. Kepahitan, pengkhianatan, bencana keresahan akan menemani kita sampai liang lahat ”(Diterjemahkan oleh B. Pasternak).

Dengan latar belakang sosial yang luas inilah kisah tragis King Lear terungkap. Di awal lakon, Lear adalah raja yang berkuasa, mengatur nasib rakyat. Shakespeare dalam tragedi ini (di mana dia menembus lebih dalam ke dalam hubungan sosial pada masa itu daripada dalam lakonnya yang lain) menunjukkan bahwa kekuatan Lear bukanlah pada kerajaannya, tetapi pada kenyataan bahwa dia memiliki kekayaan dan tanah. Segera setelah Lear membagi kerajaannya antara putrinya Goneril dan Regan, hanya menyisakan kerajaan untuk dirinya sendiri, dia kehilangan kekuasaannya. Tanpa harta miliknya, raja mendapati dirinya dalam posisi seorang pengemis. Kepemilikan dalam masyarakat telah menghancurkan hubungan kekerabatan antarmanusia yang patriarkis. Goneril dan Regan bersumpah cinta mereka pada ayah mereka ketika dia berkuasa, dan memunggungi dia ketika dia kehilangan harta miliknya.

Setelah melalui pencobaan yang tragis, melalui badai dalam jiwanya sendiri, Lear menjadi seorang pria. Dia mengenali kesulitan orang miskin, bergabung dengan kehidupan orang-orang dan memahami apa yang terjadi di sekitarnya. King Lear mendapatkan kebijaksanaan. Dalam munculnya pandangan baru tentang dunia, pertemuan di padang rumput, selama badai, dengan Tom Miskin yang malang dan tunawisma memainkan peran besar. (Itu adalah Edgar Gloucester, yang bersembunyi dari penganiayaan saudaranya Edmond.) Dalam benak Lear yang terkejut, masyarakat muncul dalam cahaya baru, dan dia mengkritiknya tanpa ampun. Kegilaan Lear menjadi pencerahan. Lear bersimpati dengan yang miskin dan mencela yang kaya:

Tunawisma, bajingan telanjang, Dimana kamu sekarang? Bagaimana Anda akan menangkis pukulan dari cuaca yang ganas ini - Dengan kain compang-camping, dengan kepala terbuka Dan perut kurus? Betapa sedikit saya memikirkan ini sebelumnya! Ini pelajaran untukmu, orang kaya yang sombong! Ambil tempat orang miskin, Rasakan apa yang mereka rasakan, Dan beri mereka bagian dari kelebihanmu Sebagai tanda keadilan tertinggi surga. (Diterjemahkan oleh B. Pasternak)

Lear berbicara dengan marah tentang masyarakat yang didominasi oleh kesewenang-wenangan. Kekuasaan tampak padanya dalam bentuk gambar simbolis seekor anjing yang mengejar seorang pengemis yang melarikan diri darinya. Lear menyebut hakim itu pencuri, politisi yang berpura-pura mengerti apa yang tidak dipahami orang lain adalah bajingan.

Kent yang mulia dan badut tetap setia pada Lear sampai akhir. Citra badut memainkan peran yang sangat penting dalam tragedi ini. Kejenakaannya, lelucon paradoks dengan berani mengungkapkan esensi hubungan antar manusia. Pelawak tragisomik menceritakan kebenaran yang pahit; ucapannya yang jenaka mengungkapkan pandangan masyarakat tentang apa yang sedang terjadi.

Alur cerita yang terkait dengan nasib Earl of Gloucester, ayah dari dua putra, memicu nasib Lear, memberinya makna yang digeneralisasikan. Gloucester juga mengalami tragedi tidak tahu berterima kasih. Dia ditentang oleh anak haramnya, Edmond.

Cita-cita humanistik diwujudkan dalam citra Cordelia. Itu tidak menerima dunia ksatria lama dan dunia Machiavellian baru. Dalam karakternya, rasa martabat manusia ditekankan dengan kekuatan khusus. Tidak seperti saudara perempuannya yang munafik, dia tulus dan jujur, tidak takut pada sifat lalim ayahnya dan mengatakan kepadanya apa yang dia pikirkan. Terlepas dari pengekangan dalam manifestasi perasaan, Cordelia benar-benar mencintai ayahnya dan dengan berani menerima ketidaksukaannya. Selanjutnya, ketika Lear, setelah melalui cobaan berat, memperoleh martabat manusia dan rasa keadilan, Cordelia berada di sampingnya. Kedua orang cantik ini sedang sekarat dalam masyarakat yang kejam.

Di akhir tragedi, kebaikan menang atas kejahatan. Edgar yang mulia akan menjadi raja. Sebagai seorang penguasa, dia akan beralih ke kebijaksanaan yang ditemukan Lear dalam nasib tragisnya.

Tragedi "Macbeth" (Macbeth, 1606), yang dibuat berdasarkan materi "Chronicles of England, Scotland and Ireland" karya R. Holinshed dikhususkan untuk masalah keadaan tragis negara dan individu di bawah rezim tirani.

Macbeth adalah seorang tiran dan pembunuh. Tapi dia tidak langsung menjadi seperti itu. Citra terungkap dalam perkembangan, dalam dinamika, dalam semua kerumitan dan ketidakkonsistenan dunia batinnya. Perjuangan antara penyesalan dan dorongan ambisius dalam jiwa Macbeth, kesadaran pada akhirnya akan ketidakberartian dari tindakan berdarahnya - semua ini membedakannya dari penjahat biasa dan menjadikannya karakter yang tragis.

Di babak pertama, Macbeth tampil sebagai pahlawan dalam adegan megah kemenangan atas musuh Skotlandia. Ini adalah pejuang yang kuat, pemberani, dan pemberani. Macbeth pada dasarnya baik hati dan bukan tanpa kemanusiaan. Dia mencapai ketenaran melalui eksploitasinya. Keyakinan pada kekuatannya dan kemungkinan sifatnya menyebabkan dalam dirinya keinginan untuk menjadi lebih agung, untuk mencapai kemuliaan yang lebih besar. Namun, struktur sosial pada masa itu membatasi perkembangan individu, menyelewengkan kemampuan manusia yang tak terbatas. Jadi, keberanian Macbeth berubah menjadi ambisi, dan ambisi mendorongnya untuk melakukan kejahatan - pembunuhan Duncan untuk mencapai kekuasaan tertinggi. Penyimpangan keberanian oleh ambisi sangat tepat dicirikan oleh kata-kata para penyihir dari adegan pertama tragedi itu: "Yang cantik itu keji, dan yang keji itu indah." Dalam aksi Macbeth, garis antara yang baik dan yang jahat semakin kabur.

Gambar-gambar penyihir yang menjijikkan, yang meramalkan nasib Macbeth di masa depan, melambangkan ketidakmanusiawian yang ada dalam niat dan perbuatannya. Penyihir tidak mewakili kekuatan fatal yang mengarahkan perilaku sang pahlawan. Mereka mengungkapkan apa yang sudah muncul dalam pikiran Macbeth. Keputusan kriminal yang dibuat oleh Macbeth ditentukan oleh keinginannya sendiri, bukan oleh kekuatan yang fatal. Tindakan kriminal semakin mendorong ke arah kelahiran kembali individu. Dari pria yang baik hati dan gagah berani, Macbeth menjadi seorang pembunuh dan tiran. Satu kejahatan mengarah ke kejahatan lainnya. Macbeth tidak bisa lagi menolak untuk membunuh, berusaha mempertahankan tahta:

Aku sudah begitu terjebak dalam lumpur berdarah, Sehingga akan lebih mudah bagiku untuk melangkah maju, Daripada kembali melewati rawa. Di otak, rencana burukku belum lahir, Dan tangan berusaha mewujudkannya. (Diterjemahkan oleh Yu.Korneev)

Saat despotisme Macbeth menjadi jelas bagi semua orang, dia mendapati dirinya sendirian. Semua orang mundur dari tiran.

Melalui kejahatan, Macbeth ingin mengubah nasib, ikut campur dalam perjalanan waktu. Dia sudah takut kehilangan sesuatu dan dengan perbuatan berdarah yang tak henti-hentinya mencoba untuk mendahului tindakan lawan yang dituduhkan. Sang tiran menuju "besok" dengan bantuan kejahatan, dan "besok" semakin mendorongnya menuju akhir yang tak terelakkan. Kekejaman tiran memprovokasi oposisi. Seluruh masyarakat bangkit melawan lalim. Bagi Macbeth, kekuatan alam juga menentangnya - Hutan Birnam berbaris di Dunsinan. Ini adalah para pejuang Macduff dan Malcolm, bersembunyi di balik cabang-cabang hijau, bergerak dalam longsoran salju yang tak tertahankan melawan Macbeth dan menghancurkannya. Salah satu karakter dalam tragedi itu, bangsawan Skotlandia Ross, berbicara tentang esensi nafsu akan kekuasaan:

Oh cinta kekuasaan, Anda melahap apa yang Anda jalani!

Setelah berbicara menentang kemanusiaan, Macbeth menghukum dirinya sendiri untuk benar-benar terisolasi, kesepian, dan mati. Lady Macbeth sangat setia kepada suaminya, yang dia anggap sebagai pria hebat. Dia sama ambisiusnya dengan dia. Dia ingin Macbeth menjadi Raja Skotlandia. Lady Macbeth bertekad untuk meraih kekuasaan dan mendukung suaminya, membantunya mengatasi keraguan moral saat berencana membunuh Duncan. Lady Macbeth berpikir bahwa cukup mencuci darah dari tangannya - dan kejahatan itu akan dilupakan. Namun, sifat manusianya gagal dan dia menjadi gila. Dalam keadaan gila dan mengantuk, dia mencoba mencuci darah dari tangannya dan tidak bisa. Di hari kematian suaminya, Lady Macbeth bunuh diri.

Dibandingkan dengan tragedi Shakespeare lainnya, suasana tragis di Macbeth sangat padat. Itu dipompa sehubungan dengan perkembangan tema berkuasa melalui kejahatan. Tindakan menjadi lebih padat, terkonsentrasi dan terburu nafsu; biasanya terjadi pada malam hari dan dengan latar belakang badai; sebuah tempat besar ditempati oleh elemen supernatural (penyihir, penglihatan), melakukan peran firasat dan pertanda buruk. Namun, pada akhirnya kegelapan menghilang, umat manusia menang atas kejahatan.

Tragedi Shakespeare dicirikan oleh wawasan mendalam tentang esensi kontradiksi tragis pada masanya. Dalam dramaturgi Shakespeare, konflik sosial-politik Renaisans secara mengejutkan tercermin dengan jujur. Perubahan besar dalam hidup yang terkait dengan pergolakan besar dalam sejarah, ketika feodalisme digantikan oleh sistem borjuis baru - inilah dasar dari tragedi di Shakespeare. Historisisme Shakespeare terletak pada pemahaman kecenderungan utama dari perjuangan nyata yang terjadi antara yang lama dan yang baru, dalam mengungkap makna tragis dari hubungan sosial pada masa itu. Dengan segala pandangan naif-puitisnya tentang dunia, Shakespeare mampu menunjukkan pentingnya orang-orang dalam kehidupan bermasyarakat.

Historisisme puitis Shakespeare memperkenalkan konten baru ke dalam tema tragis, merestrukturisasi tragis sebagai masalah estetika, memberinya kualitas baru dan unik. Tragis dalam Shakespeare berbeda dari gagasan abad pertengahan tentang tragis, dari pandangan Chaucer tentang tragis yang diungkapkan dalam The Canterbury Tales (The Monk's Prolog dan The Monk's Tale). Menurut gagasan abad pertengahan, tragedi bisa terjadi pada orang-orang berpangkat tinggi, hidup dalam kebahagiaan dan melupakan kekuatan Takdir. Orang-orang seperti itu tunduk pada keanehan keberuntungan, terlepas dari karakter mereka, kelebihan dan kekurangan mereka. Kedudukan mereka yang sangat tinggi menjadi penyebab kesombongan, sehingga malapetaka selalu dekat. Menurut gagasan abad pertengahan, keberuntungan membawa kemalangan pada seseorang secara tidak terduga dan tanpa alasan. Manusia tidak berdaya di hadapan kebijaksanaan pemeliharaan, dan tidak ada yang bisa lolos dari pukulan takdir. Konsep abad pertengahan tentang tragis tidak berangkat dari karakter seseorang dan benturannya dengan takdir, tetapi dari kepercayaan pada kemahakuasaan kekuatan supernatural, oleh karena itu, dalam karya tragis sastra abad pertengahan, epik, permulaan naratif menang atas dramatis.

Tragis dalam Shakespeare bebas dari gagasan fatalisme, takdir. Dan meskipun para pahlawannya mengacu pada Tuhan dan keberuntungan, Shakespeare menunjukkan bahwa orang bertindak atas dasar keinginan dan kemauan mereka, tetapi dalam cara mereka menghadapi keadaan hidup, yaitu. dengan kehendak dan keinginan orang lain yang mengekspresikan kepentingan pribadi, publik, dan negara. Dari bentrokan antara rakyat itu sendiri, yang mewakili masyarakat dan kemanusiaan, mengalir kemenangan dan kekalahan. Tragis melekat pada diri manusia itu sendiri, dalam perjuangannya, dan tidak bergantung pada takdir yang fatalistik. Nasib tragis sang pahlawan, kematiannya yang tak terhindarkan adalah konsekuensi dari karakter dan keadaan hidupnya. Banyak yang terjadi secara kebetulan, tetapi pada akhirnya semuanya tunduk pada kebutuhan - Waktu.

Supranatural dalam tragedi Shakespeare - hantu dan penyihir - lebih merupakan penghargaan untuk motif cerita rakyat daripada manifestasi takhayul dari penulis drama itu sendiri, itu adalah konvensi puitis dan teknik aneh dalam menggambarkan karakter dan memaksakan suasana tragis. Baik Hamlet maupun Macbeth bertindak sesuai dengan aspirasi dan keinginan mereka sendiri, dan bukan atas perintah kekuatan supernatural. Shakespeare dan para pahlawannya tidak selalu memahami arti dari peristiwa tragis, tetapi selalu jelas bahwa peristiwa itu terjadi menurut hukum kausalitas, menurut hukum waktu yang keras.

Kebutuhan dalam Shakespeare muncul tidak hanya sebagai gerakan historis Waktu, tetapi juga sebagai kepastian dan tak terbantahkan dari landasan moral alami kehidupan manusia. Dalam kehidupan publik, kemanusiaan universal diperlukan. Moralitas berdasarkan keadilan manusia adalah cita-cita yang harus diperjuangkan orang dan pelanggaran yang mengarah pada konsekuensi yang tragis.

Tragis dalam Shakespeare bersifat dialektis. Masyarakat dapat melanggar hubungan moral alami dan menyebabkan kematian para pahlawan (Romeo dan Juliet), dan sang pahlawan, karena sejumlah sifat negatifnya, dapat melakukan kejahatan dan menyebabkan kerusakan pada masyarakat (Macbeth), dan pada saat yang sama sang pahlawan dan masyarakat bisa bersalah dalam hubungannya satu sama lain ( King Lear). Semuanya bergantung pada kompleksitas nyata dari kontradiksi sosial pada masa itu dan konflik psikologis masing-masing individu. Perjuangan antara yang baik dan yang jahat tidak hanya berlangsung di arena publik, tetapi juga di dalam jiwa manusia.

Konflik dalam tragedi Shakespeare sangat tegang, tajam, dan tidak dapat didamaikan, dan terungkap sebagai benturan dua kekuatan antagonis. Di latar depan - perjuangan dua pahlawan yang kuat, mewujudkan karakter yang berbeda, prinsip dan pandangan hidup yang berbeda, nafsu yang berbeda. Hamlet dan Claudius, Othello dan Iago, Lear dan Goneril, Caesar dan Brutus - ini adalah karakter lawan yang terlibat perkelahian. Tetapi pahlawan bangsawan Shakespeare tidak hanya melawan beberapa antagonis individu, dia juga terlibat dalam perjuangan dengan seluruh dunia kejahatan. Perjuangan ini mengungkap kemungkinan spiritual terbaik sang pahlawan, tetapi juga menyebabkan kejahatan. Perjuangan berlangsung serentak di dalam jiwa sang pahlawan itu sendiri. Pahlawan dengan susah payah mencari kebenaran, kebenaran, keadilan; sungguh tragis penderitaan mental sang pahlawan saat melihat jurang kejahatan yang terbuka di hadapannya; tetapi dia sendiri, dalam mencari kebenaran, membuat kesalahan di suatu tempat, kadang-kadang bersentuhan dengan kejahatan, bersembunyi di balik kedok kebaikan, dan dengan demikian mempercepat kesudahan yang tragis.

Tindakan para pahlawan tragis Shakespeare, orang-orang luar biasa, memengaruhi seluruh masyarakat. Karakternya sangat signifikan sehingga masing-masing dari mereka adalah seluruh dunia. Dan kematian para pahlawan ini mengejutkan semua orang. Shakespeare menciptakan karakter yang besar dan kompleks dari orang-orang yang aktif dan kuat, orang-orang yang berakal dan memiliki hasrat yang besar, keberanian dan martabat yang tinggi. Tragedi Shakespeare menegaskan nilai kepribadian manusia, keunikan dan individualitas karakter seseorang, kekayaan dunia batinnya. Kehidupan jiwa manusia, pengalaman dan penderitaan, tragedi batin seseorang sangat menarik bagi Shakespeare di atas segalanya. Dan ini juga mempengaruhi inovasinya di bidang tragis. Gambaran dunia batin para tokoh mengungkapkan kemanusiaan mereka begitu dalam sehingga menimbulkan kekaguman dan simpati yang mendalam bagi mereka.

Sejumlah pahlawan Shakespeare - Macbeth, Brutus, Anthony ("Antony dan Cleopatra") - bersalah atas tragedi mereka. Tetapi gagasan tentang rasa bersalah tidak sesuai dengan banyak pahlawan mulia. Fakta bahwa Romeo dan Juliet muda sedang sekarat adalah kesalahan masyarakat yang memusuhi perasaan manusia yang tulus dan utuh. Hamlet, Othello, King Lear memiliki kesalahan dan kesalahan yang tidak mengubah landasan moral dari karakter mulia mereka, tetapi di dunia kejahatan dan ketidakadilan membawa akibat yang tragis. Hanya dalam pengertian ini seseorang dapat berbicara tentang "kesalahan tragis" mereka. Bersama dengan para pahlawan ini, sifat yang sepenuhnya murni, seperti Ophelia, Cordelia, Desdemona, menderita dan mati.

Dalam bencana yang disebabkan, baik pelaku kejahatan yang sebenarnya, dan mereka yang menanggung "kesalahan tragis", dan mereka yang sama sekali tidak bersalah binasa. Tragedi di Shakespeare jauh dari "keadilan puitis", yang terdiri dari aturan sederhana: kejahatan dihukum, kebajikan menang. Kejahatan pada akhirnya menghukum dirinya sendiri, tetapi kebaikan menanggung penderitaan yang tragis, jauh lebih besar daripada kesalahan sang pahlawan.

Pahlawan tragis Shakespeare aktif dan mampu memilih moral. Dia merasa bertanggung jawab atas tindakannya. Jika keadaan, masyarakat bertentangan dengan cita-cita moralitas dan melanggarnya, maka pilihan moral karakter adalah melawan keadaan; dalam ketidaksesuaian dengan kejahatan, bahkan jika itu mengarah pada kehancuran mereka sendiri. Ini paling jelas di Hamlet.

Episode "pengakuan", kesadaran akan kesalahan dan rasa bersalah, wawasan sebelum kematian dipenuhi dalam tragedi Shakespeare dengan pengalaman karakter yang paling intens dan ide moral yang paling penting. Episode ini ditandai dengan konten ideologis dan psikologis yang mendalam. Episode "pengakuan" penting dalam tragedi itu sebagai kemenangan prinsip moral kebenaran dan kebaikan, sebagai akibat dari pergulatan dan penderitaan internal yang dialami sang pahlawan. Episode ini menerangi seluruh hidup sang pahlawan dengan cahaya baru, menegaskan kebesaran jiwa manusia dan pentingnya landasan moral kehidupan.

Karakter penjahat dalam drama Shakespeare juga berbeda dalam individualitasnya. Mereka memiliki kemauan, pikiran yang secara aktif melayani rencana yang berbahaya dan ambisius. Penjahat ini adalah perwujudan dari fenomena nyata pada zaman itu - Machiavellianisme. Pikiran bebas muncul di dalamnya dalam bentuk yang sangat individualistis, sebagai pengejaran tujuan egois yang efektif. Penjahat Shakespeare sama sekali bukan figur konvensional dari kejahatan abstrak; mereka adalah kejahatan konkret dan tipikal dari sistem borjuis. Iri hati, kedengkian dan kebencian adalah karakter utama para penjahat. Tetapi Shakespeare tidak mencoba menampilkan mereka sebagai iblis. Penjahat juga manusia, tetapi karena berbagai alasan mereka kehilangan kemanusiaannya. Kadang-kadang terbangun dalam diri mereka untuk menekankan kesia-siaan keberadaan mereka, tanpa prinsip moral (Edmond, Lady Macbeth).

Shakespeare mengungkapkan keyakinan humanistik pada kebaikan dan kemuliaan manusia, pada semangat gigih dan energi kreatifnya. Dia menegaskan martabat manusia dan kebesaran pencapaian manusia. Dari semua bencana dan masalah, sifat manusia muncul tak terkalahkan. Humanisme sejati Shakespeare adalah optimismenya. Optimisme ini tidak adil, karena Shakespeare menyadari kekuatan kejahatan dan kemalangan yang ditimbulkannya. Optimisme tragedi Shakespeare terletak pada kemenangan atas keputusasaan dan pada keyakinan kuat pada kemenangan manusia atas kejahatan sosial.

Keserbagunaan penggambaran kehidupan dan penggambaran karakter selalu terungkap dalam kombinasi dan interpenetrasi antara tragis dan komik. Ini adalah inovasi Shakespeare, penemuan cara baru dalam menggambarkan manusia dan masyarakat.

Shakespeare juga seorang inovator dalam plot dan struktur komposisi tragedi. Dalam tragedinya, alur cerita kedua muncul. Alur cerita sampingan memberi kesan keserbagunaan hidup dan cakupan realitas yang luas. Teknik paralelisme karakter dan alur cerita, yang digunakan untuk perbandingan dan kontras, dilengkapi dengan gambar alam dalam tragedi Shakespeare. Kebingungan dalam jiwa para karakter, pergulatan nafsu yang tragis, mencapai ketegangan tertinggi, sering kali disertai dengan badai di alam ("King Lear", "Macbeth").

Kompleksitas struktur, arus bebas peristiwa dalam tragedi Shakespeare dalam banyak hal mengantisipasi puisi novel abad ke-19 dan ke-20. Kejenuhan dengan aksi, drama karakter, misteri peristiwa, citra panorama sejarah, kebebasan dalam ruang dan waktu, kontras yang cerah - semua ciri tragedi Shakespeare ini berkembang lebih jauh dalam genre novel.

Pada periode terakhir, ketiga, karya Shakespeare, dia tetap setia pada cita-cita humanisme, meskipun dia tidak lagi memiliki ilusi tentang humanisme tatanan kapitalis baru. Belum menemukan perwujudan dalam kehidupan, cita-cita humanisme dalam fantasi kreatif Shakespeare berupa mimpi tentang masa depan, tentang dunia baru yang indah. Mimpi ini, dengan tidak adanya kemungkinan untuk mewujudkannya dalam kenyataan, diwujudkan dalam bentuk elemen fantastis, adegan pastoral dan alegori, ciri khas karya Shakespeare periode lalu. Metode artistik The Winter's Tale dan The Tempest sangat logis, diperlukan secara estetis, dan merupakan langkah selanjutnya dalam evolusi karya Shakespeare.

Pericles, Cymbeline, The Winter's Tale, The Tempest menghadirkan kualitas estetika baru. Mereka menggabungkan fitur genre dari tragikomedi, drama pastoral, dan alegori. Dalam drama periode ketiga, Shakespeare beralih ke pencampuran fantasi dengan kenyataan, motif cerita rakyat, dongeng dan situasi utopis, hingga pemandangan indah yang terungkap dengan latar belakang alam. Dalam tragisomedi akhir Shakespeare, prinsip liris-heroik mendominasi, romansa peristiwa luar biasa. Lakon-lakon ini bercirikan tema menentang masyarakat dan alam, adat istiadat istana yang kejam, dan kehidupan pedesaan yang indah. Namun, perpecahan dengan masyarakat di sini merupakan bentuk kritik moral dan etika terhadap masyarakat ini, dan bukan seruan untuk lari darinya. Bukan kebetulan para pahlawan kembali ke masyarakat untuk melanjutkan perang melawan kejahatan.

Tragikomedi The Winter's Tale (1610-1611) ditulis dalam semangat puisi rakyat. Karya ini mengutuk despotisme raja dan puisi kebaikan penduduk desa. Keseluruhan drama dibangun di atas kontras yang tajam antara tirani istana kerajaan dan kemanusiaan para gembala petani. Raja Sisilia Leontes, yang menikmati kekuasaan tak terbatas, memutuskan untuk secara brutal berurusan dengan istrinya Hermione, yang cemburu pada raja Bohemiannya Polyxenus. dan Hermione, mencari perlindungan di Bohemia dengan seorang gembala tua yang menjadi ayahnya bernama . Loss jatuh cinta dengan putra Raja Polyxenes Pangeran Florizel. Mengabaikan perbedaan kelas, Florizel ingin menikahi Loss. Ketika Polixenes menolak untuk menyetujui pernikahan ini, Florizel dan Loss meninggalkan Bohemia. Cita-cita kesetaraan orang ditegaskan di kata-kata Rugi tentang apa yang ada di atas gubuk dan Orc matahari yang sama bersinar di langit.

Kebaikan dalam drama ini menang atas kejahatan. Leontes akhirnya menyadari kesalahannya dan mendapatkan kembali kebahagiaan bersama Hermione.

Yang sangat penting dalam konten filosofis dari drama tersebut adalah citra paduan suara - Waktu. Dalam prolog babak keempat, mengomentari nasib para pahlawan lakon, Waktu mengungkapkan gagasan pembangunan, gagasan tentang perubahan yang tiada henti dalam kehidupan masyarakat. Waktu menentukan perspektif perkembangan, menempatkan kisah sedih Hermione di tempat tertentu dalam aliran sejarah secara umum. Dari sudut pandang hukum perkembangan yang abadi, peristiwa tragis hanyalah momen-momen terpisah yang diatasi, menjadi masa lalu, menjadi legenda. Pada skala waktu historis, kebaikan pasti menang. Dalam The Winter's Tale, Shakespeare mengungkapkan keyakinannya akan masa depan yang indah bagi umat manusia.

Impian Shakespeare tentang masyarakat yang adil diekspresikan dalam plot fantastis dari tragisomedi The Tempest (The Tempest, 1611). Mendarat di pulau setelah kapal karam, Gonzalo bermimpi mengatur segala sesuatu di sini berbeda dari di Kerajaan Napoli. Dia ingin menghapus pejabat dan hakim, menghancurkan kemiskinan dan kekayaan, menghapus hak waris dan penutupan tanah. Karena itu, Gonzalo berusaha memberantas kejahatan yang merajalela dalam masyarakat yang tidak adil. Namun, Gonzalo juga mengungkapkan keinginan naif: untuk menghapuskan perdagangan, sains, dan tenaga kerja dan hidup hanya dari apa yang diberikan oleh alam itu sendiri. Dalam monolog Gonzalo, pengaruh gagasan "Utopia" Thomas More terlihat nyata.

Mimpi utopis Gonzalo bertentangan dengan masyarakat nyata di mana kekejaman dilakukan. Dua belas tahun lalu, Antonio merebut kekuasaan di Milan, mengusir adipati yang sah, saudaranya Prospero. Prospero dan putrinya Miranda menemukan diri mereka di sebuah pulau yang dihuni oleh makhluk-makhluk fantastis. Namun, ada juga kejahatan di sini. Caliban biadab yang jelek, monster yang lahir dari penyihir, memanfaatkan kepercayaan Prospero, yang melakukan banyak kebaikan untuknya, memutuskan untuk tidak menghormati Miranda. Penyihir Prospero menaklukkan Caliban, yang mewujudkan kekuatan naluri gelap, dan melakukan perbuatan baik dengan bantuan roh udara yang baik Ariel.

Drama tersebut mengungkapkan konflik antara yang baik dan yang jahat. Citra ilmuwan humanis Prospero adalah perwujudan dari pikiran yang baik dan pengaruhnya yang bermanfaat bagi manusia. Wise Prospero mengubah orang, menjadikan mereka masuk akal dan cantik.

Prospero mahakuasa di pulau itu, roh gunung, sungai, danau, hutan tunduk padanya, tetapi dia ingin kembali ke tanah airnya, ke Italia, dan sekali lagi terjun ke dalam kehidupan masyarakat yang sibuk, berperang melawan kejahatan. Shakespeare mengungkapkan dalam The Tempest cinta untuk kemanusiaan, kekaguman akan keindahan manusia, keyakinan akan munculnya dunia baru yang indah. Penyair humanis menaruh harapan di benak generasi mendatang yang akan menciptakan kehidupan yang bahagia.

Dalam artikel “A Ray of Light in the Dark Kingdom”, N.A. Dobrolyubov mendefinisikan signifikansi global Shakespeare sebagai berikut: “Banyak dari dramanya dapat disebut penemuan di bidang hati manusia; aktivitas kesusastraannya menggerakkan kesadaran umum orang-orang ke beberapa tingkatan, yang belum pernah didaki oleh siapa pun sebelumnya dan yang hanya ditunjukkan dari kejauhan oleh beberapa filsuf. Dan itulah mengapa Shakespeare memiliki makna universal: dia menunjuk beberapa tahap baru perkembangan manusia.

*Dobrolyubov N.A. Sobr. cit.: Dalam 9 volume - M; L.-1963. - T.6.- S.309-310.

Karakter yang diciptakan oleh Shakespeare memiliki banyak segi, mereka menggabungkan permulaan yang tragis dan komik, seperti yang terjadi dalam kehidupan itu sendiri.

Dalam realisme Renaisans dan dalam karya Shakespeare ada bentuk konvensionalnya sendiri. Bersyarat, misalnya, tempat tindakan. Aksi drama Shakespeare dapat berlangsung di Denmark, Skotlandia, Sisilia, Bohemia, tetapi penulis naskah selalu memikirkan Inggris, menggambarkan konflik, karakter, dan adat istiadat tanah airnya. Drama Shakespeare bersifat polifonik. Mereka menggabungkan berbagai elemen puitis, motif plot yang berbeda, dan terungkap dalam berbagai aspek dan variasi. Realisme Shakespeare sering memanifestasikan dirinya dalam bentuk romantis yang luar biasa, dalam gambar alegoris yang fantastis, dalam gaya hiperbolik dan metaforis, dalam suasana hati dan musik yang menyedihkan, dalam bentuk panggung yang efektif. Masalah terpenting bagi Shakespeare adalah masalah karakter manusia. Di tengah plot sebagian besar drama Shakespeare adalah seseorang yang terungkap dalam perjuangan yang terjadi saat ini. Shakespeare tidak memberikan latar belakang apa pun pada karakternya. Orang dalam karya Shakespeare terhubung dengan kehidupan masyarakat kontemporer untuk penulis naskah. A.S. Pushkin berbicara tentang keserbagunaan karakter Shakespeare: “Wajah yang diciptakan oleh Shakespeare bukanlah, seperti wajah Moliere, jenis hasrat ini dan itu, sifat buruk ini dan itu, tetapi makhluk hidup, penuh dengan banyak nafsu, banyak sifat buruk; keadaan berkembang di hadapan penonton karakter mereka yang beragam dan beraneka segi.

* Kritikus Pushkin. - S.412.

Shakespeare menyampaikan cita rasa nasional dari realitas Inggris, karakter budaya rakyat Inggris. Tak seorang pun sebelum dia bisa menggambarkan jalannya sejarah itu sendiri, menunjukkan berbagai strata masyarakat dalam satu sistem dinamis.

Shakespeare menangkap dalam karyanya titik balik zaman, perjuangan dramatis antara yang lama dan yang baru. Karya-karyanya mencerminkan pergerakan sejarah dalam kontradiksinya yang tragis. Tragedi Shakespeare didasarkan pada bahan plot sejarah dan legenda, yang mencerminkan keadaan heroik dunia. Namun pada materi legendaris dan sejarah ini, Shakespeare mengangkat masalah kontemporer yang akut. Peran rakyat dalam kehidupan masyarakat, hubungan antara kepribadian heroik dan rakyat terungkap dengan kedalaman filosofis yang luar biasa dalam tragedi Coriolanus (Coriolanus, 1608). Komandan Coriolanus yang gagah berani hebat ketika dia mewakili kepentingan Roma asalnya, kepentingan rakyat, memenangkan kemenangan di Corioli. Orang-orang mengagumi pahlawan mereka, menghargai keberanian dan keterusterangannya. Coriolanus juga mencintai orang-orangnya, tetapi hanya tahu sedikit tentang kehidupan mereka. Kesadaran patriarkal Coriolanus belum mampu menangkap kontradiksi sosial yang berkembang di masyarakat; oleh karena itu, dia tidak memikirkan penderitaan rakyat, menolak memberi mereka roti. Orang-orang berpaling dari pahlawan mereka. Di Coriolanus, diusir dari masyarakat, menemukan dirinya sendiri, kebanggaan yang sangat tinggi, kebencian terhadap kaum pleb terbangun; ini membawanya ke pengkhianatan terhadap tanah air. Dia menentang Roma, melawan rakyatnya, dan dengan ini menghukum dirinya sendiri sampai mati.

Kebangsaan Shakespeare adalah bahwa ia hidup dengan kepentingan pada masanya, setia pada cita-cita humanisme, mewujudkan prinsip etika dalam karya-karyanya, menggambar gambar dari perbendaharaan seni rakyat, menggambarkan pahlawan dengan latar belakang rakyat yang luas. Dalam karya Shakespeare - asal mula perkembangan drama, lirik dan novel zaman modern.

Karakter rakyat dari drama Shakespeare juga ditentukan oleh bahasa. Shakespeare menggunakan kekayaan bahasa lisan penduduk London, memberi kata-kata nuansa baru, makna baru *. Pidato rakyat yang hidup dari para pahlawan drama Shakespeare penuh dengan permainan kata-kata. Pencitraan bahasa dalam drama Shakespeare dicapai dengan seringnya penggunaan perbandingan bergambar dan metafora yang tepat. Seringkali ucapan para tokoh, terutama dalam lakon-lakon periode pertama, menjadi menyedihkan, yang dicapai dengan penggunaan eufemisme. Selanjutnya, Shakespeare menentang gaya euphuistik.

* Lihat: Morozov M. Artikel tentang Shakespeare. -M, 1964.

Dalam drama Shakespeare, pidato ayat (ayat kosong) bergantian dengan prosa. Pahlawan tragis terutama berbicara dalam sajak, dan karakter komik, pelawak - dalam prosa. Namun terkadang prosa juga ditemukan dalam pidato para pahlawan tragis. Puisi dibedakan oleh berbagai bentuk ritmis (iambik lima kaki, iambik enam kaki dan empat kaki, tanda hubung).

Pidato karakter bersifat individual. Monolog Hamlet bersifat filosofis dan liris; Pidato liris Othello dicirikan oleh citra eksotis; Pidato Osric ("Hamlet") sok. Bahasa Shakespeare idiomatis dan aphoristik. Banyak ungkapan Shakespeare telah menjadi slogannya.

Kritik sastra Soviet menganggap karya Shakespeare realistis. Teater Soviet memainkan peran besar dalam mengungkap esensi realistis dari karya Shakespeare. Penerjemah Soviet melakukan banyak hal untuk mengembangkan warisan kreatif Shakespeare.

Dalam karya sejumlah sarjana Shakespeare Soviet, masalah pandangan dunia Shakespeare, periodisasi karyanya, sejarah teater dramanya, masalah realisme dan kebangsaan diangkat. Perhatian sosial dalam Shakespeareologi Soviet diberikan pada masalah "Shakespeare dan Sastra Rusia".

Komedi Shakespeare adalah salah satu contoh paling luar biasa dari komedi Renaisans Eropa. Shakespeare pertama-tama beralih ke komedi Romawi kuno dan "komedi terpelajar" Italia abad ke-16, yang sangat dipengaruhi olehnya. Para pahlawan komedi, mengatasi kesulitan di jalan kehidupan, membangun kebahagiaan mereka dengan optimisme yang melekat, yang menegaskan keyakinan pada seseorang dan kemampuannya. Pahlawan itu energik, ceria, banyak akal, dan jenaka. Anak muda adalah kekasih yang memperjuangkan cintanya, dikelilingi oleh banyak karakter - orang dengan latar belakang yang berbeda. Tema cinta dan persahabatan sejati.; suasana liburan, komedi tawa. Sintesis tradisi rakyat dan komedi Renaisans-Italia. Semangat pemuda.

Struktur komedi: sepasang kekasih tidak bisa terhubung. Mereka aktif, mereka menciptakan takdir mereka sendiri. Itu berakhir dengan pernikahan, mengatasi hambatan eksternal (larangan, orang tua) dan internal (karakter karakter). Elemen alam / manusia. Menggambar!! Pahlawan penting - badut - pintar, hanya memakai topeng orang bodoh. Orang bodoh adalah orang bodoh.

Evolusi komedi Shakespeare: "Komedi Kesalahan" pertama - komedi situasi. Motif dualitas, melalui si kembar. "The Taming of the Shrew" adalah tema kepribadian ganda, sebuah gerakan menuju tragedi konflik yang tak terpecahkan. 12th Night adalah komedi kelam. Dunia perasaan puitis dan kesenangan hidup berdampingan dalam komedi dengan konflik dramatis dan bahkan motif tragis. Meskipun kegembiraan yang cerah menang atas kemunafikan yang suram, perasaan tidak tertarik menang atas prasangka kelas. Dasar dari situasi komedi adalah kebetulan acak dari keadaan yang secara drastis mengubah nasib orang. Terlepas dari keanehan takdir, seseorang harus berjuang sendiri untuk kebahagiaannya.

Komedi "The Taming of the Shrew" ditulis oleh Shakespeare pada tahun 15 (93?), Tetapi untuk pertama kalinya diterbitkan hanya setelah kematiannya - pada tahun 1623. Masih ada perselisihan yang belum terselesaikan tentang sumber komedi ini.

Pada tahun 1594, sebuah drama anonim diterbitkan - "Sebuah cerita lucu yang diciptakan, disebut - penjinakan satu tikus." Segala sesuatu dalam drama anonim - karakter dengan kepribadian mereka, bahkan "moral" utama dari drama tersebut - sesuai dengan komedi Shakespeare. Hanya ada sedikit perbedaan. Anonim tidak terjadi di Padua, tetapi di Athena; semua nama karakternya berbeda: karakter utama disebut Ferrando, pahlawan wanita selalu disingkat Ket; dia tidak hanya memiliki satu, tetapi dua saudara perempuan - Emilia dan Filena, yang masing-masing dirayu oleh seorang pemuda, sedangkan Shakespeare memiliki seorang saudara perempuan yang memiliki beberapa pengagum; Anonim tidak memiliki pernikahan rahasia, dan keseluruhan hasilnya tidak jelas.

Pergantian episode dan perkembangan aksi di kedua lakon itu sama, dan di beberapa tempat salah satunya langsung menyalin yang lain. Namun, teksnya sendiri berbeda, dan hanya ada enam baris di seluruh drama yang sama persis.

Shakespeare dicirikan oleh cara memproses lakon orang lain ketika, dengan meminjam plot dan gambar, ia membuat teks yang sama sekali baru, di mana ia hanya menggunakan dua atau tiga frasa atau ekspresi dari lakon lama, tetapi pada saat yang sama, semuanya. konten luar biasa memperdalam, menghiasi, dan mengisi dengan makna yang sama sekali baru. . Dalam The Taming of the Shrew, Shakespeare menunjukkan pemahaman yang halus tentang sifat manusia. Ada kontroversi di kalangan komentator tentang lakon ini tentang moralitasnya. Beberapa mencoba untuk melihat dalam lakon itu sebagai pembelaan terhadap prinsip abad pertengahan tentang subordinasi tanpa syarat dari seorang wanita kepada seorang pria, yang lain menganggapnya hanya sebagai lelucon, tanpa konten ideologis.

Dari semua karakter dalam drama tersebut, hanya tiga yang merupakan karakter yang cerdas dan berkembang dengan baik: Katarina dan Petruchio, dan Bianca. Pahlawan komedi Petruchio adalah tipikal manusia zaman modern, pemberani, bebas dari prasangka, penuh kekuatan. Dia merindukan perjuangan, kesuksesan, kekayaan, dan bertemu lawan yang layak dalam diri Katarina. Catarina, ditenangkan oleh tunangannya yang cerdas Petruchio, berubah menjadi istri yang ideal dengan sopan santun. Sifat ganda dari Bianca yang kaku dikontraskan dengan ketulusan Katarina yang keras kepala. Di penghujung lakon, saat terjadi semacam ujian terhadap istri, ternyata Bianca yang dulunya pendiam berubah menjadi suka bertengkar berubah-ubah, sedangkan Katarina sendiri menjadi perwujudan kelembutan dan keramahan. Drama itu diakhiri dengan monolognya yang terkenal, di mana dia menegaskan kelemahan alami wanita dan memanggil mereka untuk tunduk kepada suami mereka.

Semua pahlawan drama lainnya adalah tokoh bersyarat, stereotip aneh. Ini sesuai dengan sifat lucu dari tindakan tersebut: segala macam trik, tawuran, tawa belaka, tanpa lirik, perasaan lembut, ideal, yang hampir bersamaan, lucu "Komedi Kesalahan".

Shakespeare berbagi pendapat yang diterima secara umum di zamannya bahwa suami harus menjadi kepala keluarga. Namun pada saat yang sama, dengan menunjukkan kekayaan sifat Katarina, ia mengedepankan gagasan humanistik tentang kesetaraan internal perempuan dan laki-laki.

Pembaca modern kurang memahami hubungan komposisi antara permulaan dan tema utama lakon itu.

Namun, Shakespeare ingin menunjukkan apa yang membedakan bangsawan dalam masyarakat kontemporer. Dia menunjukkan ini dengan contoh tukang tembaga yang cukup mencolok.

Tukang tembaga Christopher Sly tertidur dalam keadaan mabuk di ambang bar. Tuan kembali dari perburuan dengan para pemburu dan pelayan dan, menemukan lelaki yang sedang tidur itu, memutuskan untuk mempermainkannya. Pelayannya membawa Sly ke tempat tidur mewah, memandikannya dengan air yang harum, dan menggantinya dengan gaun mahal. Ketika Sly bangun, dia diberi tahu bahwa dia adalah seorang bangsawan yang telah dikuasai kegilaan dan telah tidur selama lima belas tahun, bermimpi bahwa dia adalah seorang tukang tembaga. Pada awalnya, Sly bersikeras bahwa dia adalah seorang penjaja sejak lahir, seorang tukang cukur karena pendidikan, seorang momok karena perubahan nasib, dan dengan perdagangannya saat ini seorang tukang tembaga, tetapi lambat laun dia membiarkan dirinya diyakinkan bahwa dia benar-benar orang yang penting dan menikah. kepada seorang wanita menawan (sebenarnya, ini adalah halaman tuan yang menyamar) . Tuan dengan ramah mengundang rombongan akting keliling ke kastilnya, menginisiasi anggotanya ke dalam rencana lelucon, dan kemudian meminta mereka untuk memainkan komedi lucu, seolah-olah untuk membantu bangsawan imajiner menyingkirkan penyakit.

Jadi, perlu dicatat bahwa pengenalan seperti itu dan menunjukkan aspek kehidupan bangsawan yang diperlukan adalah elemen yang sangat penting dalam karya ini.

Dengan demikian, Shakespeare tidak hanya mengungkap ide utamanya, tetapi juga menunjukkan bagaimana masyarakat bersenang-senang.

Namun, hal utama dalam lakon itu bisa disebut satu syarat yang mendasari keseluruhan komedi. Ini adalah kondisi Baptis.

Dia mengumumkan kepada pelamar Bianca bahwa dia tidak akan menikahi Bianca sampai dia menemukan suami untuk putri sulungnya. Dia meminta bantuan untuk mencarikan guru musik dan puisi untuk Bianchi, agar orang malang itu tidak bosan dalam pengasingan paksa. Hortensio dan Gremio memutuskan untuk mengesampingkan persaingan mereka untuk sementara demi mencarikan suami untuk Katarina. Ini bukanlah tugas yang mudah, karena iblis sendiri tidak dapat mengatasinya, karakter utamanya sangat jahat dan keras kepala untuk semua itu.

Namun, seperti disebutkan di atas, endingnya tidak dapat diprediksi. Katarina menggantikan Bianchi, mengejutkan semua orang dengan kelembutan dan keramahannya.

Jadi, perlu dicatat bahwa karya Shakespeare beragam, setiap drama, komedi, tragedinya unik, karena mencakup, selain masalah masa kini, aspek psikologis dari kepribadian. Pandangan dunia penulis naskah dipengaruhi oleh peristiwa dan perubahan politik. Karya Shakespeare dari semua periode dicirikan oleh pandangan dunia yang humanistik: minat yang dalam pada seseorang, pada perasaan, aspirasi dan hasratnya, kesedihan atas penderitaan dan kesalahan orang yang tidak dapat diperbaiki, impian kebahagiaan bagi seseorang dan seluruh umat manusia secara keseluruhan. .

Gagasan utama Renaisans adalah gagasan tentang orang yang berharga. Waktu telah menguji ide ini secara tragis, buktinya adalah karya Shakespeare. Saat membuat karya-karyanya, Shakespeare sering bergantung pada warisan sastra para pendahulunya, tetapi daya tarik baginya hanya berfungsi sebagai bentuk karya yang diberkahinya dengan konten yang benar-benar baru dan dalam. Benar, perasaan adalah prinsip estetika utama Shakespeare. Tidak ada kepalsuan yang salah, tidak ada kesedihan yang salah, itulah sebabnya semua yang keluar dari penanya begitu mengesankan.

Inti dari tragedi dalam Shakespeare selalu terletak pada benturan dua prinsip - perasaan humanistik, yaitu kemanusiaan yang murni dan mulia, dan kevulgaran atau kekejaman, yang didasarkan pada keegoisan dan keegoisan.

Menurut Shakespeare, nasib setiap orang merupakan hasil interaksi antara karakternya dan keadaan sekitarnya. Shakespeare dengan logika besi menunjukkan bagaimana orang-orang terbaik, yang paling mulia, cerdas dan berbakat, binasa di bawah serangan kekuatan gelap (Hamlet, Lear), betapa mudahnya kejahatan menguasai jiwa seseorang dan konsekuensi mengerikan apa yang ditimbulkannya (Macbeth ).

Di sini terungkap perasaan hidup yang istimewa, tragis dan sekaligus heroik, yang pada akhir Renaisans muncul di kalangan humanis sebagai akibat runtuhnya cita-cita mereka di bawah serangan kekuatan reaksioner. Ini, di satu sisi, adalah perasaan runtuhnya kepercayaan dan institusi abad pertengahan, dari semua "ikatan suci" feodalisme, yang menimbulkan perasaan bencana besar, runtuhnya dunia besar yang hidup selama banyak orang. abad, di sisi lain, ini adalah kesadaran bahwa dunia baru, yang menggantikan yang lama, membawa serta bentuk perbudakan manusia yang lebih buruk, semangat pemangsa yang tak terkendali, alam "chistogan", ini adalah fundamental ciri-ciri kapitalisme yang sedang berkembang. Oleh karena itu, perasaan bencana alam global, runtuhnya semua fondasi, perasaan bahwa orang-orang berkeliaran di sepanjang tepi jurang di mana mereka dapat dan benar-benar jatuh setiap menit. Loyalitas terhadap alam, mengikuti kecenderungan alami kodrat manusia, tidak lagi menjadi kriteria perilaku yang memadai dan jaminan kebahagiaan. Manusia, terbebas dari semua ilusi, menyadari bahwa dia hanyalah "binatang malang, telanjang, berkaki dua" (kata-kata Lear).

Berdasarkan hal tersebut, banyak kritikus berbicara tentang "pesimisme" periode kedua karya Shakespeare. Namun, istilah ini membutuhkan reservasi. Pesimisme depresif, yang mengarah pada keputusasaan dan penolakan untuk berperang, adalah hal yang asing bagi Shakespeare. Pertama-tama, betapapun mengerikan penderitaan dan malapetaka yang digambarkan oleh Shakespeare, itu tidak pernah tanpa tujuan, tetapi mengungkapkan makna dan keteraturan yang dalam dari apa yang terjadi pada seseorang. Kematian Macbeth, Brutus atau Coriolanus menunjukkan kekuatan fatal dari nafsu atau delusi yang mencengkeram seseorang ketika dia tidak menemukan jalan yang benar. Di sisi lain, bahkan tragedi Shakespeare yang paling parah pun tidak menghembuskan keputusasaan: mereka membuka prospek untuk masa depan yang lebih baik dan menegaskan kemenangan batin kebenaran atas kekejaman manusia. Kematian Romeo dan Juliet pada saat yang sama adalah kemenangan mereka, karena di atas peti mati rekonsiliasi terjadi antara keluarga yang bertikai, yang berjanji untuk mendirikan monumen cinta mereka. "Hamlet" diakhiri dengan kematian Claudius dan kekalahan pengadilan Denmark yang kejam; dengan aksesi Fortinbras, era baru harus dimulai, memberikan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Demikian pula, Macbeth diakhiri dengan kematian tiran dan penobatan penguasa yang sah dan baik. Di Lear, raja tua meninggal dalam keadaan tercerahkan dan dijiwai dengan cinta akan kebenaran dan manusia. Dengan mengorbankan penderitaan yang dia alami, Lear dari "binatang malang, telanjang, berkaki dua" berubah menjadi Manusia, dalam kemanusiaannya yang sederhana lebih besar dari Lear sebelumnya, diinvestasikan dengan martabat kerajaan. Tragedi Shakespeare memancarkan keceriaan, seruan berani untuk berjuang, meski perjuangan ini tidak selalu menjanjikan kesuksesan. Karakter heroik dari pesimisme ini sangat jauh dari keputusasaan yang fatalistik.

Karya Shakespeare dibedakan dari skalanya - luasnya minat dan cakupan pemikiran yang luar biasa. Dramanya mencerminkan berbagai macam jenis, posisi, era, masyarakat, lingkungan sosial. Kekayaan fantasi ini, serta kecepatan tindakan, kekayaan gambar, kekuatan nafsu yang digambarkan, dan ketegangan kehendak karakter, adalah ciri khas Renaisans. Shakespeare menggambarkan perkembangan kepribadian manusia dan kekayaan hidup dengan segala kelimpahan bentuk dan warnanya, tetapi dia membawa semua ini ke dalam satu kesatuan di mana keteraturan berlaku.

Sumber dramaturgi Shakespeare beragam, dan, bagaimanapun, dia menguasai segala sesuatu yang dipinjam dengan cara yang aneh. Dia mengambil banyak dari zaman kuno. Comedy of Errors awalnya adalah tiruan dari Manechma Plautus. Dalam "Titus Andronicus" dan "Richard III" pengaruh Seneca sangat terlihat. Tragedi "Romawi" Shakespeare kembali tidak hanya dalam plot, tetapi juga sebagian secara ideologis ke Plutarch, yang pada zaman Renaisans adalah guru cinta kebebasan dan perasaan sipil. Dalam karya Shakespeare, gambar mitologi kuno yang ceria dan ekspresif selalu ditemui.

Sumber lain untuk Shakespeare adalah seni Renaisans Italia. Plot "Othello", "The Merchant of Venice" dan beberapa komedi lainnya dipinjam olehnya dari novelis Italia. Dalam The Taming of the Shrew dan beberapa komedi lainnya, orang dapat mendeteksi pengaruh commedia dell'arte Italia. Kita sering menjumpai kostum Italia, nama diri, dan segala macam motif dalam lakon Shakespeare, yang berasal dari sumber yang sangat berbeda. Jika dari zaman kuno Shakespeare mempelajari kekonkretan dan kejelasan gambar, logika artistik, perbedaan ucapan, maka pengaruh Renaisans Italia berkontribusi pada penguatan fitur estetika dan gambar dalam karyanya, persepsinya tentang kehidupan sebagai angin puyuh warna dan bentuk. Lebih penting lagi, kedua sumber ini memperkuat dasar humanistik karya Shakespeare.

Namun pada dasarnya, seiring dengan atraksi tersebut, Shakespeare melanjutkan tradisi drama rakyat Inggris. Ini termasuk, misalnya, campuran tragis dan komik yang dia gunakan secara sistematis, yang dilarang oleh perwakilan dari tren klasik terpelajar dalam drama Renaisans.

Di Shakespeare, kami mengamati campuran orang dan peristiwa yang beraneka ragam, langkah tindakan yang luar biasa cepat, perpindahannya yang cepat dari satu tempat ke tempat lain. Keaktifan, kecemerlangan, kemudahan gaya, gerakan yang melimpah, dan efek yang mencolok merupakan ciri khas dari drama rakyat. Manifestasi tertingginya terletak pada kenyataan bahwa untuk ide-ide humanistiknya ia menemukan bentuk ekspresi yang benar-benar rakyat - konkret, sangat jelas dan jujur ​​dalam kesederhanaannya yang tulus. Ini berlaku tidak hanya untuk pidato badut di King Lear, yang mewakili intisari dari kearifan rakyat, tetapi juga untuk pernyataan karakter pendidikan yang halus, seperti Hamlet.

Realisme Shakespeare terkait erat dengan orang-orang. Realisme Shakespeare didasarkan pada hubungan langsung yang hidup dengan semua fenomena kehidupan. Pada saat yang sama, Shakespeare tidak hanya dengan jujur ​​\u200b\u200bmenggambarkan kenyataan, tetapi juga tahu bagaimana menembus jauh ke dalamnya, memperhatikan dan mengungkapkan apa yang paling penting di dalamnya. Pandangan Shakespeare sendiri tentang esensi seni yang realistis diekspresikan dalam percakapan Hamlet dengan para aktor (babak III, adegan 2), di mana Hamlet mengutuk semua kepura-puraan, hiperbolisme, efek demi efek, menuntut ketaatan pada ukuran dan proporsi, kealamian, korespondensi dengan kenyataan.

Realisme Shakespeare dimanifestasikan dalam kenyataan bahwa ia menggambarkan fenomena dalam gerakan dan pengondisian bersama mereka, memperhatikan semua corak dan transisi perasaan. Ini memberinya kesempatan untuk menarik seluruh orang dalam segala kerumitannya dan pada saat yang sama dalam perkembangannya. Dalam hal ini, pembentukan karakter Shakespeare juga sangat realistis. Menekankan ciri-ciri khas pada karakternya, memiliki makna umum dan mendasar, ia sekaligus mengindividualisasikan mereka, membekali mereka dengan berbagai ciri tambahan yang membuat mereka benar-benar hidup. Karakter Shakespeare berubah dan tumbuh dalam perjuangan.

Realisme Shakespeare juga ditemukan dalam keakuratan analisis pengalaman emosional karakternya dan motivasi tindakan dan motif mereka.

Perubahan sikap yang tajam dialami oleh semua pahlawan tragedi besar. Motif pribadi dan kondisi khusus mereka untuk perkembangan krisis spiritual berbeda bagi mereka, reaksi dan perilaku spiritual mereka tidak sama, tingkat guncangan moral pada mereka semua sangat ekstrem, dan pengalaman menyakitkan mereka tidak terbatas pada nasib pribadi. dan menunjukkan keadaan krisis keyakinan zaman. Keraguan para pahlawan tragis memiliki banyak sisi, tetapi diarahkan ke pusat tertentu, dengan fokus pada keadaan masyarakat dan masalah manusia.